28. Semuanya dari Kamu

44.4K 6K 1.4K
                                    

Kaget, udah setengah ribu🥺
Makasih ya.

✨✨

"Kamu Bagus, kan?"

Anin malah jadi bingung saat Bagus meraih tangannya. Bukan untuk membantunya masuk mobil, justru menariknya agar kembali mendekat.

"Oh iya, bener. Aku lihat punggung kamu udah hafal."

Sebenarnya Anin tidak curiga. Teman Bagus tidak hanya saat kuliah. Bisa saja itu teman SMA-nya kan? Tapi perilaku Bagus yang membuat Anin malah berpikir macam-macam. Ia mendongak, seolah bertanya tanpa kata.

Tanpa disangka, Bagus juga menunduk memberi tatap padanya. Satu tangannya merengkuh pinggang Anin mendekat agar memudahkannya menepikan rambut yang menutupi pandangan Anin. "Temenku," bisiknya.

Tidak mau berpikir macam-macam, Anin akhirnya mengangguk. Ia alihkan pandangan kembali ke prempuan di depannya yang terlihat mematung sejenak melihat ke arah tangan kanan Bagus yang masih bersarang di helai rambut Anin.

Seperti baru tersadar ditatap Anin, perempuan itu segera mengalihkan pandangannya. "Apa kabar, Gus?"

Bagus mengangguk. "Baik."

Anin mengamati keduanya dalam diam. Ia perempuan, jelas tahu kalau pandangan teman Bagus itu terlihat sakit hati. Entah karena apa.

"Kalau gitu, aku duluan ya." Pamit perempuan itu sambil menunduk seolah menutupi kecanggungan.

Bagus kembali meminta Anin naik ke dalam mobil sebelum ia menyusul. Tidak ada yang bicara setelah itu. Sudah biasa saat di mobil memang keduanya hanya diam. Tapi keterdiaman kali ini terasa berbeda.

"Cewek tuh sering nyimpan prasangka, Gus. Misal dia lihat yang aneh dikit dari lo, dia nggak milih nanya tapi nunggu lo jelasin. Kalo lo cuekin dia padahal sadar dia lagi pengin tahu sesuatu, siap-siap lo dibombardir prasangkanya para cewek. Kejam mereka tuh kalo udah pendem lama-lama, merembetnya jauh banget. Lihat lo ngobrol sama temen cewek aja pikirannya sampe ke perselingkuhan, atau malah udah mikir gimana cara cerai dari suami jika diselingkuhi."

Percakapan dengan Gagah tadi pagi membuat Bagus mendadak menghela napasnya pelan. Ia sadar, ia memang selalu sadar maunya Anin apa, perempuan itu kenapa. Hanya saja ia jarang bisa menjadi penyembuh untuk Anin. Yang dilakukan selama ini justru diam dan membiarkan sampai Anin lupa dengan rasa sakitnya sendiri.

"Dia temenku." Dua kata itu terlontar tanpa sanggup Bagus cegah.

Anin menoleh padanya dan tersenyum. "Kamu udah bilang tadi."

Itu tidak membuat Bagus lega, karena ia tahu Anin belum merasa cukup dengan jawabannya. "Kami ketemu di GlowApp."

Benar, setelah itu Anin baru terusik. "Oh, mantan."

Walau Anin tidak bertanya lebih lanjut, tapi Bagus punya kewajiban untuk menjelaskan. Karena mantannya datang di hadapan mereka tadi, jadi mau tidak mau memang harus dijelaskan.

"Kamu bawa dia ketemu Ibu terus dia nggak bisa?" Anin bertanya hati-hati. Ia tidak mau membuat Bagus merasa sakit hati.

"Iya."

Anin sudah menduganya. Ia memang tidak melihat tatapan Bagus yang spesial pada perempuan tadi. Ia masih merasa percaya diri karena belum mendapati tatapan Bagus yang sama padanya kepada perempuan lain.

"Dia nyakitin aku." Bagus bersuara lagi, kali ini lebih rendah dan dalam. "Bukan karena hubungan kami, tapi karena dia menghina Ibu."

Anin coba mengerti perasaan Bagus. Ia mengusap pelan lengan Bagus agar membuat emosi itu mereda.

GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang