4. P

52.2K 8.2K 791
                                    

Halooo lama tak jumps.

✨✨

Anin menyenggol siku Frisya, mengisyaratkan agar menjadi jubirnya. Ngomong ke Bagus yang masih diam di depan kamera bikin malas. Lebih baik Anin diam saja. Untung Frisya mengerti apa yang Anin maksud.

"Udah belum, Gus?" tanya Frisya akhirnya.

Bagus mengernyit, lalu mengangguk.

"Beneran udah?" Frisya bertanya lagi. Masa foto tanpa aba-aba satu dua tiga?

"Nggak ada yang bener," ujar Bagus lagi sambil melihati hasil fotonya.

"Ya iyalah nggak ada yang bener." Anin mulai menimpali. "Lo yang ngefoto aja nggak ngasih aba-aba."

Bagus malah hanya mengedikkan bahu.

Anin menyabarkan diri. "Sabar, Fris," ujarnya pada Frisya padahal jelas-jelas ia yang sedang emosi di sini. "Andai sabar dapet duit, gue nggak perlu ngerendahin harga diri mau disuruh ngerawat si babi sampai mati demi dapet uang saku dari Abang gue. Dompet gue tebel dalam sekali inhale exhale. Duh, sabar sabar."

"Si babi udah mati, Nin?" tanya Frisya terkejut. Anin memang tidak lepas menceritakan hal-hal kecil semacam itu ke Frisya. "Kapan?"

"Kemarin, Fris. Bang Gagah minta gue pesenin peti mayat ukuran tiga puluh centi."

"Dan lo mau?"

Anin mengangguk, tapi tatapnya menyesal. "Lo tau ... sisiknya beneran dikerokin."

"Gundul, dong." Frisya tertawa. Astaga, semua yang berhubungan dengan cerita Anin memang sering membuatnya tertawa.

Bagi Frisya, kalau sedang bersama Anin, dunia tidak pernah sedih pokoknya.

"Eh, bentar," sahut Anin saat sadar sesuatu. Ia kembali fokus ke Bagus. "Lo nge-record ya?" tunjuknya pada Bagus yang masih bertahan di belakang kamera. Terlihat sekali kamera dalam keadaan merekam, sama seperti beberapa menit lalu saat mereka sedang take video tugas kuliah.

Anin sebenarnya tidak mau kepedean walaupun ia tahu jawaban Bagus apa. Pasti diam. Bagus harus kena pasal paparazi biar tahu rasa kayaknya.

"Jawab, Gus."

"Buat BTS," kilah Bagus. Ia memundurkan tripod dan kembali fokus ke kamera. "Ulang fotonya."

"Percuma diulang sepuluh ribu kali juga kalo lo asal jepret aja tanpa ngasih aba-aba," gerutu Anin walau ia menempakan diri dengan gaya formal di samping Frisya.

Tapi baru beberapa detik hening di ruang kelas yang hanya berisi kelompok mereka, tiba-tiba saja kamera sudah diturunkan. Membuat Anin dan Frisya lagi-lagi melongo bingung.

"Udah?" Suara Anin meninggi kali ini. Apalagi melihat Bagus diam saja, makin menjadi emosinya. Ia melangkah mendekati Bagus dan merebut kamera dengan paksa. Dilihatnya hasil foto terakhir, seketika menganga. "Lo bisa ngefoto nggak sih, Gus?"

Bagus masih terlihat santai tidak peduli lalu meraih kembali kamera dari tangan Anin, dan duduk di salah satu kursi.

"Hasilnya jelek," ejek Anin.

"Siapa yang jelek?"

Anin melongo mendengarnya. Jadi, Bagus malah menyalahkan objek yang difoto?

"Ngomongnya deketan sini, Gus. Biar enak gue naboknya," tantang Anin. Heran sama orang yang males bicara macam Bagus. Pendiam masih mending lah. Tapi ini ... untuk hal penting saja tidak mau buka suara. "Sini gue bilang!"

GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang