Setengah ribunya bebiiii wkwk.
✨✨
Kepalanya terasa begitu penuh dan denyutannya terasa makin menyiksa. Langkah Anin sudah gontai kalau saja Frisya tidak membantunya berjalan memasuki kamar. Pandangannya mengabur sejak beberapa menit lalu. Sejak ia keluar dari mobil Bagus dan memutuskan menghubungi Frisya dengan tangannya yang gemetar.
Anin berusaha tidak menangis. Demi apa pun ia menahannya di depan Bagus kuat-kuat. Tapi sekarang dentuman kepalanya makin terasa nyeri. Tubuhnya sudah terduduk di tepi tempat tidur. Sekejap ia seperti tidak tersadar. Tapi melihat Frisya merentangkan tangannya memecah tangis Anin lebih hebat.
Kepalanya sakit. Hatinya sakit. Seluruh tubuhnya seolah tidak ada yang bisa diajak kerja sama. Keseluruhannya terasa remuk. Tangisnya terdengar keras dan menyiksa. Menyesakkan siapa pun yang mendengar.
Anin menekan kuat pusat rasa sakitnya. Ia tekan telapak tangannya di dada saat ia gunakan bahu Frisya untuk sandarannya. Ia kacau. Perasaannya hancur, separah tangisannya yang tersendat-sendat.
Anin sadar dirinya lemah. Perihal rasa, ia begitu tidak tega. Sedikit digores, lukanya akan bertahan lama. Tapi sedikit dibahagiakan, bahagianya pun tidak bertahan sebentar. Ia begitu perasa, hingga kini tidak tahu lagi bagaimana hatinya bekerja.
Rasanya hancur, tapi sekaligus tidak nyata. Kalau saja dua lengan Frisya tidak sedang memeluknya sekarang, mungkin ia kira kesadarannya sudah hilang entah ke mana.
Anin selalu ingin ditemani. Ia tidak bisa dibiarkan sendiri jika sedang seperti ini. Dan ia cukup bersyukur karena Frisya mengenalnya dengan baik. Hingga tidak meninggalkannya seorang diri. Bukan takut Anin hilang kendali, tapi memang Anin bukan tipe orang yang bisa menyembuhkan lukanya sendiri.
Cukup lama tangis Anin terlampiaskan. Walau itu artinya ia harus menahan kuat-kuat sesak di dadanya saat napas mulai sulit diatur. Anin meringis kesakitan saat memutuskan berbaring, menutup diri dengan selimut.
"Lo tiduran dulu. Gue mau turun ambil minum buat lo."
Setelahnya Frisya menutup pintu, menuruni tangga dan langkahnya menuju dapur terhenti melihat seseorang duduk dengan resah di sofa ruang tengah. Kedua tangannya ditautkan dengan gelisah.
Mata mereka bertemu dan Gagah menghampiri Frisya dengan tatapannya yang terkesan datar dan dingin.
"Pasti Bagus kan?" geram Gagah dengan suara rendah.
Sudah lama Frisya mengenal Gagah, tapi baru kali ini melihatnya begitu menakutkan.
"Fris, jawab gue."
Frisya tidak juga menjawab. Walau ia bisa tahu sedikit permasalahan karena Anin sempat bercerita sepatah dua patah kata di mobilnya tadi, tapi ia tidak punya hak untuk menceritakan pada Gagah.
"Bangsat tu orang!" geram Gagah lebih menakutkan.
"Tunggu, Bang." Frisya berhasil menghalangi jalan Gagah. Ia mendongak meski ia tahu tatapan Gagah berusaha dialihkan, tidak mau ia tahu tatap penuh marah itu walau Frisya sudah sempat melihatnya. "Ini nggak kayak yang lo pikirin. Lo harus dengerin cerita Anin dulu. Jangan kayak gini."
"Gue udah cukup sabar, Fris." Kedua bola mata Gagah tertuju ke Frisya. "Sejak gue lihat langkah gontai Anin tadi, gue udah cukup nahan buat nggak matiin Bagus."
"Lo butuh dengerin Anin dulu sebelum nemuin Bagus, Bang." Frisya berkata lebih pelan.
Gagah menahan napasnya yang sedikit kasar. Ia mundur dua langkah sebelum mendudukkan diri kembali di sofa. "Gimana Anin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
GlowApp (Aplikasi Cari Jodoh)
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2022 Kategori New Adult] Berawal dari sindiran pedas trah Kakek Sadewo, Anin sebagai cucu perempuan satu-satunya yang belum punya pacar merasa tertekan. Demi membawa teman kondangan agar sindiran julit para tantenya terbungkam, ia m...