9. I love you

2.9K 323 28
                                    

"Akh.."

"Sakit?"

Hinata menarik kain yang ia gunakan untuk mengompres perut Sasuke.

"Dingin." Kata Sasuke. Lalu ia terkekeh. Kulitnya yang biru kehitaman seolah bukan apa-apa.

"Kenapa ayahmu melakukan itu?" Sekilas Hinata memandang Sasuke, ia mencelupkan kain berwarna kuning ke dalam air es lalu memerasnya.

"Aku tidak suka menyebutnya sebagai itu 'ayah'. Tapi aku rasa kau bisa menebaknya."

Sasuke menutup matanya saat kain sedingin es itu menempel pada perutnya. Tangannya bergerak sendiri menahan jemari Hinata.

Wajah Hinata merona, ia menatap lekat-lekat jemari yang menutupi tangannya. Jemarinya panjang, warnanya pucat, barisan pembuluh darahnya biru kehijauan dan menonjol di kulitnya.

Pegangan tangannya melonggar. Hinata melirik Sasuke dari sudut matanya, perlahan mata pria itu terbuka. Mulutnya yang tadinya tertutup kini menghembuskan udara dengan penuh kelegaan.

"Mana mungkin aku bisa menebaknya?" Ia bahkan tidak tahu apa-apa tentang Sasuke.

"Kau bisa."

Sasuke tertawa kecil sambil memandang Hinata. Gadis itu muak mendengar suara tawanya. Sasuke tidak seharusnya tertawa, ia sedang terluka, jika ia mau ia bisa menangis sambil menceritakan kekacauan keluarganya, Hinata berjanji tidak akan menceritakan pada siapapun atau setidaknya ia bisa menunjukkan wajah murungnya. Setidaknya itu membuatnya terlihat normal.

"Kau tertawa seperti orang gila."

"Aku benar bukan, kau menebaknya."

Hinata memicingkan mata dan melihat pada Sasuke, ingin sekali ia mencubit perutnya.

Gadis itu meraih smartphone-nya. "Setelah 30 menit, kompres dengan air mendidih."

"Heh! Jangan bilang aku ada dimarkas kanibal?"

Hinata tertawa lalu menyimpan smartphone-nya kembali. Ia tidak pernah mengompres lebam pada kulit, kulitnya pernah membiru namun tentu saja itu hanya luka kecil yang akan menghilang dalam beberapa hari. Namun dalam kasus Sasuke, ia seharusnya pergi ke rumah sakit untuk menemui dokter, bukan gadis remaja yang perlu panduan dari artikel yang ia baca dari smartphone hanya untuk mengompres.

Begitu Hinata selesai, pria itu telah tertidur. Hinata menggoyangkan tangannya di atas wajah Sasuke untuk memastikan bahwa pria itu benar-benar terlelap. Tidak ada respon, Hinata memberanikan diri memerhatikan perutnya dengan jarak yang lebih dekat, perut kekar itu dipenuhi tato hitam, jika dilihat dari dekat rangkaian goresan itu seperti noda hitam yang tumbuh ke dalam kulitnya. Lalu Hinata mendekatkan lengannya pada garis biru yang membentang diperut Sasuke. Kulit Lebam itu sebesar pergelangannya. Hinata bergidik ngeri. Ia pikir Sasuke tidak waras, tapi ternyata ayahnya lebih gila darinya. Seperti pepatah lama, darah lebih kental dari air.

Hinata menbaringkan diri disamping Sasuke. Wajahnya memerah begitu saja, jantungnya berdebar kencang seiring pandangannya yang jatuh pada batang hidung yang menjulang lalu bibir tipis yang berwarna merah muda. Hinata memenarik selimut dan menekan dadanya. Ia pernah merasakan bibir itu, bibirnya basah, lembut seperti jelly namun kokoh seperti gelas yang sering menempel dibibirnya, dan hangat seperti cokelat. Dan lidahnya,

"Yabai.."

Hinata menutup wajahnya lalu memukul kepalanya sendiri agar tetap terjaga, Ia mengubah posisi untuk membelakangi Sasuke. Suhu tubuhnya terasa lebih panas dari biasanya, mungkin karena musim panas, atau mungkin pendingin ruangan yang tidak bekerja dengan baik.

Promises And DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang