Chapter 4

747 113 61
                                    

"Tanteeeeee, tantenya Om Junaaaaa!!! Bangun, Tanteeeeee! Sudah jam sebelas siang!"

Sebutlah nama anak ini, Syah Reza, bisa dibilang anak paling akrab dengan seorang Spesialis Konservasi Terumbu Karang yang baru-baru ini mengaku berprofesi sebagai nelayan di hadapan Ryn Camellia. Merasa sudah satu hati dengan Om Juna, Reza pun sukarela menjadi kaki tangan sang pria, katakanlah sebagai asisten pribadi yang melakukan hal-hal semacam ini : membangunkan istri Si Om dari tidur agar tidak kebablasan sampai sore.

"Tanteeeeeee! Tadi Om Juna bilang : kalau aku belum lihat tante keluar rumah, aku nggak boleh pergi. Takutnya tante mati di dalam! Tanteeeee!!!"

Setelah menghembuskan napas pelan, Ryn mengatur senyuman, kemudian membuka pintu rumah dengan ceria.

"Hai, selamat pagi!"

"Siang, Tante..." Reza membalas senyuman tak kalah manis. Koreksi darinya barusan praktis membuat sang puan meringis seraya menepikan anak rambut ke belakang telinga.

"Iya, siang, maksudnya. Kamu kenapa di sini?" Sebenarnya Ryn sudah mendengar dengan jelas suara teriakan anak ini tadi, namun ia kembali bertanya hanya untuk memastikan apa yang terjadi.

"Diutus sama Om Juna, katanya suruh bangunin Tante, takut Tante lenyap tiba-tiba."

"Ohhh..." Ryn mati-matian menahan untuk tetap senyum meski dalam hati kesal setengah mati. Bisa-bisanya Juna meminta tolong anak kecil alih-alih membangunkannya sendiri tadi pagi. Padahal apa susahnya dia ketuk pintu kamar dan memanggil nama, kan?

"Satu lagi, kata Om Juna, kalau Tante mau makan, ke dapur aja. Ada makanan, tinggal dihangatkan lagi."

Ryn manggut-manggut.

"Sekarang om-nya di mana?"

"Kalau tadi, aku lihat dia ke penangkaran kuda laut hias."

"Oh gitu, ya sudah, namamu siapa?"

"Reza, Tan."

"Oke, Reza, tante namanya Ryn, sangat berterimakasih karena udah dibangunin barusan, makasih banyak, ya."

"Sama-sama, Tante Ryn. Kalau begitu, aku pamit dulu. Dadah...!"

Wanita ini melambaikan tangan pada anak kecil yang baru saja menuruni tangga. Sepuluh detik berikutnya, ia turun pula untuk menuju kamar mandi. Sesampainya di sana, alangkah frustasinya melihat ember-ember yang kosong.Tangannya menepuk jidat, kalau sudah begini, terpaksa naik lagi ke rumah untuk mengangkut jerigen berisi air.

"Satu, dua, tiga." Angkat... turunkan. "Satu, dua, tiga." Angkat lagi... turunkan. Butuh waktu cukup lama sampai Ryn berhasil menarik jerigen 40 liter yang cukup berat bagi tubuh mungilnya ini, untuk kemudian kembali ke kamar mandi dan bisa mencuci mukanya dengan khidmat.

Dia menatap cermin yang ada di sana, kemudian tersenyum. "Walaupun nggak secantik waktu masih di rumah, Ryn Camellia masih mempesona," monolognya pada udara kosong.

Gosok gigi sudah, cuci muka pun sudah, Ryn berjalan keluar dari kamar mandi untuk kembali ke rumah dan menghangatkan makanan. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara air dari belakang rumah tetangga. Akibat penasaran, dia mengintip.

Matanya membola manakala menemukan banyak ibu-ibu tengah menampung air ke dalam ember setelah menarik air tersebut dari sumur berdinding bata. Ryn menyapu pandangan ke rumah lain yang berdekatan, ada seorang bapak juga sedang mengangkut air.

Sebentar... bukankah Juna bilang warga sini kehabisan air dan hanya membeli air bersih per jerigen ke kota Makassar? Lalu, sumur itu untuk apa?!

Kalau tahu ada sumur di sana, seharusnya tadi malam Ryn bisa mandi menggunakan lebih banyak air, bukannya sedikit yang hanya cukup untuk membasuh badan dalam lima kali siram!

A Love for JunaediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang