Chapter 2

1.1K 129 61
                                    

"Siapa tante ini?"

Anak itu memainkan rambut sang puan yang menjuntai dari atas kursi bambu. Manusia ini asing, baginya. Jadi ia sedang bertanya-tanya, mengapa wanita tersebut bisa berada di rumah pria yang ia kagumi?

Jujur, ini agak menjengkelkan bagi si anak perempuan yang diam-diam menyukai om ganteng yang kerap memberinya ikan bakar.

"Kata Om Juna, dia istrinya."

"Benar, kah?"

"Ya."

"Sayang sekali. Om Juna tampan, tapi istrinya kurang menawan. Rambutnya berantakan, bajunya kotor, wajahnya pucat-"

"Kau bahkan lebih buruk dari telapak kakinya!" potong salah satu dari empat orang anak yang berdiri mengelilingi kursi panjang, tempat pembaringan Ryn.

"Hei!"

Dua anak itu beradu tatapan nyalang, satunya hendak membela wanita yang konon katanya istri Om Juna, satunya lagi hanya mengemukakan pendapat mengenai penampilan sang puan.

"Kau tidak seharusnya berkata begitu. Kalau Om Juna dengar, bagaimana?"

"Tapi kau setuju bahwa tante ini tidak menarik, kan?"

"Siapa bilang? Aku bahkan sangat tertarik dengan kecantikannya. Dia nampak seperti pemain film."

"Ya, cocok untuk film siksa kubur."

"Hei!"

Sementara mereka ribut, dua anak lainnya masih betah mengagumi paras wanita yang terbaring dengan mata tertutup rapat. Semenjak Juna datang sembari menggendong sang puan, mereka langsung menaruh perhatian sebab desa ini jarang sekali ada gadis muda. Rata-rata wanita adalah paruh baya yang anak-anaknya tinggal di kota. Jadi wajar, kedatangan Ryn Camellia menjadi fenomena baru yang menarik minat anak kecil.

Wanita itu mulai mengedipkan kelopak mata manakala indera pendengarnya berfungsi baik menangkap perdebatan. Pening melanda kepala, ia meringis sepersekian detik.

"Teman-teman, diam. Tante sudah bangun."

Matanya berusaha membiaskan cahaya yang tampak, ada lampu berukuran kecil tepat menggantung di atas tubuhnya. Cahayanya kemerahan dan tidak begitu terang, tapi Ryn yang baru bangun selepas pingsan, merasa sangat kesilauan.

Samar-samar tercium aroma makanan. Sungguh menggugah seleranya yang memang tengah lapar. Sontak, cacing di perut merasa tergoda hingga tanpa malu berbunyi nyaring. Ah, sial. Ryn bahkan tidak tahu ini di mana, tapi si lambung bisa-bisanya tidak mau kompromi untuk menahan dahaga sesaat lagi.

"Om Juna!!! Tante sudah bangun, dan sepertinya dia lapar."

Ryn mendudukkan diri. Matanya melirik anak yang barusan berteriak, dia lari menuju satu arah dengan suara jejak kaki yang cukup ribut sebab tempat ini berlantai papan. Sementara tiga anak lainnya menatapnya tanpa kedip, Ryn batuk-batuk merasa salah tingkah.

Apa aku sangat cantik? -pikir otaknya, kege-eran.

Dia bahkan tanpa sadar melupakan posisinya yang berada di antah-berantah. Penampilannya harus tetap nomor satu, hingga dibandingkan menanyai di mana lokasi ini, dia malah menebar pesona dengan mengibaskan rambut ke samping sisi wajah.

Dua anak lelaki berdecak takjub, satu anak perempuan memandang datar tanpa ekspresi.

Juna datang bersama anak yang tadi memanggilnya, lima detik kemudian.

"Lehermu tidak keram?"

Pertanyaan barusan membuat Ryn kembali duduk tenang dan menegakkan posisi leher yang semula miring ke kanan, lalu memperbaiki tatanan rambut.

A Love for JunaediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang