"Tante Ryn, terima kasih untuk semua jajannya. Ini banyak banget, aku nggak yakin bisa habiskan sendiri." Syah Reza, anak itu kini memeluk kantong kresek ukuran besar yang bagian atasnya sudah diikat agar isinya tidak berhamburan. Cerah sekali wajahnya ketika mengulas senyum untuk tante yang selama tiga hari sebelumnya—kecuali hari ke empat dan ke lima ini—harus selalu dibangunkan agar tidak kebablasan tidur hingga petang. Dulunya Reza heran dengan waktu tidur wanita dewasa yang agaknya mengikuti golongan nokturnal, tapi setelah melihat imbalan yang didapat usai menjadi alarm dadakan, Reza cengar-cengir bahagia. Kalau begini, selamanya pun Reza tidak masalah jika harus datang ke rumah Om Juna dan membangunkan si tante tiap hari."Sama-sama. Kamu hari ini tidak sekolah?"
"Kan, hari minggu tante…"
"Oh, iya… baru ingat." Ryn tertawa kecil. "Kalau kamu nggak sibuk, mau nggak nemenin aku keliling pulau? Ini hari terakhirku di sini, nanti sore sudah akan balik ke kota."
"Boleh, sebentar biar ku antar jajan ini ke rumah dulu, setelah itu aku balik ke sini lagi."
"Jangan lama-lama, ya!"
Anak itu melambaikan tangan seraya berlari menjauh. Kini Ryn duduk di tangga depan, tengah memeriksa kamera untuk nanti digunakan merekam hal-hal menarik. Tempatnya duduk sedikit bergetar ketika Juna melangkahkan kaki di lantai papan. Sejurus kemudian secangkir kopi muncul di depannya lengkap dengan pria itu.
Ryn meletakkan kamera ke pangkuan dan menerima uluran cangkir. "Terima kasih, aku nggak pesan kopi?"
"Saya juga nggak ngelayani pembeli."
Keduanya melempar senyuman tipis. Juna lantas mengambil posisi di sebelahnya dengan sedikit menggeser kaki Ryn menggunakan kakinya sendiri.
"Bilang gitu kalau mau duduk, jangan main geser-geser aja." Ryn pindah satu tangga ke atas. Sengaja, biar lebih lapang dan plong, kalau terlalu dekat dengan Juna ia bisa sesak napas. Ah, apalagi setiap melihatnya mengikat bagian belakang rambut yang agak panjang itu; nampak menggoda sekali.
Omona… aigo… kenapa aku bisa terpesona sama nelayan satu ini? Uh! Usir jauh-jauh pikiran kotor ini, Ryn Camellia. Kamu ini perempuan bermartabat!
"Otakmu bergeser makanya memukul kepala sendiri?" Pasalnya Juna melihat perempuan itu seperti sedang melawan jin yang merasuk di benak; sejak tadi menampar ubun-ubun dengan bunyi nyaring.
Ryn memilih tidak merespon. Mulai menyesap kopi, ia manggut-manggut merasakan nikmatnya. Takaran gula untuk kopi hitam ini pas, tidak kemanisan. Sejenak ia memandangi punggung Juna yang berada di bawahnya, seraya berpikir apa yang tidak bisa pria itu lakukan? Masak, bisa. Bikin kopi sendiri pun bisa. Nyetir speedboat, bisa. Nyetir mobil, itu sudah biasa.
"Pak Juna,"
"Iya?"
"Kamu bilang sudah lima bulan di pulau ini, bahkan lebih. Selama itu, apa nggak dicariin keluarga?" Detik berikutnya Ryn menambahkan, "Maaf kalau lancang bertanya."
Tak ada balasan dari Juna, pria itu kini meneguk habis seluruh kopinya hingga menyisakan ampas di ujung cangkir. Ryn sedikit bingung memandangi, bertanya-tanya dalam hati; siapa yang minum kopi sekali habis begitu? Biasanya orang kalau menikmati kopi, menyesap perlahan-lahan untuk menemani obrolan agar berlangsung lama. Kalau pria itu langsung menghabiskan kopinya, apa ini kode bahwa ia tak mau lagi mengobrol?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love for Junaedi
ChickLitSederhananya, Ryn hendak berlibur ke Makassar dan berakhir kena tipu orang. Semua barangnya diambil, lantas dirinya dalam keadaan pingsan dibuang ke Pulau Badi, Sulawesi Selatan. Di sana ia bertemu Junaedi. Pria yang mengaku-ngaku sebagai nelayan it...