Prolog

1.2K 99 23
                                    


Biar kujelaskan secara singkat. Perusahaan milik papa baru saja bangkrut. Demi mempertahankan gurita bisnis yang nyaris mati ini, aku ditumbalkan untuk menikahi seorang pria-entah-siapa berasal dari keluarga Massaid, agar keluarga kami bisa bebas dari masalah finansial.

Apa aku sukarela dijodohkan? Jelas, tidak.

"Sista, mainkan!"

Usai diberi titah, MUA andalan di salah satu salon kecantikan langsung gercep memoles wajahku.

"Rambut harus cetar membahana, kita bikin calon suamimu ilfeel dalam waktu singkat dan perjodohan dibatalkan sepihak. Bukan begitu, Ryn Camellia?"

"Of course!" Kuserahkan semuanya pada Sista, percaya saja bahwa dia handal dalam mengubah penampilan seseorang. Biasanya aku dirias sangat cantik, hari ini harus kebalikannya agar calon suamiku jijik.

Semenjak tahu calon suamiku seorang duda dan usianya lebih muda, aku benar-benar tak habis pikir dengan niat Papa. Bisa-bisanya memilihkan jodoh bekas orang dan berondong begini!

Makanya, daripada nangis-nangis minta batal nikah, lebih baik mainkan peran bak tante-tante yang memang mencari berondong untuk dimangsa. Dengan begitu, aku yakin si calon suami akan kabur dengan sendirinya.

"Yang ini terlalu besar, yang ini terlalu kecil. Nah, ini dia! Bantalan bra yang pas, bisa bikin kamu nampak montok, Sayang."

Binar mataku tak ada yang bisa menandingi. Terlebih ketika menatap buntalan yang harus diselipkan ke dalam bra yang dipakai. Oh, jangan tanyakan pantat, sejak tadi sudah dikenakan bokong palsu agar makin aduhai.

"Ryn, kamu yakin dengan ini?" Gigi-manajerku-nampak sekali tak nyaman. Padahal aku yang penampilannya urakan, kenapa malah dia yang deg-degan?

"Yakin banget! Ayo, berangkat. Doakan perjodohanku batal malam ini!" Aku memegang bahunya, lanjut mendorong pelan agar wanita itu segera melangkahkan kaki untuk mengantarku ke tempat pertemuan dengan si calon suami.

Sejurus berikutnya, langkahku telah beradu dengan marmer salah satu resto bintang lima yang nampaknya di reservasi khusus untuk pertemuan kami. Keluarga Massaid memang tak tanggung-tanggung kalau menjerat mangsa; disuguhkan dengan kemewahan ini, barangkali mereka berpikir aku akan dengan mudah bertekuk lutut.

Oh, papa juga terlalu naif. Anak tengah sepertiku mana pernah menuruti keinginannya yang mau dilihat lebih dalam pun tidak ada untung-untungnya. Papa hanya memikirkan dirinya sendiri; hanya memikirkan usaha warisan keluarga Soebagio. Beliau bahkan dengan mudah menjebloskanku dalam skenario memuakkan ini, di lain sisi sangat menjaga ketenangan si bungsu dan wibawa si sulung.

Ya, nasib anak tengah, selalu tak dianggap.

"Maaf telat. Macet parah." Dengan santai, kuremas dada demi memperbaiki letak bantalan bra yang bergeser. Tak begitu peduli jika lelaki di hadapanku muntah melihatnya.

"Kamu menunggu lama?" Baru di detik ini, aku yang semula duduk tanpa dipersilakan, menyorot mata coklat pria di hadapan.

Demi Tuhan dan semesta alam, di antara banyaknya imajinasi perihal akan seperti apa rupa calon suamiku, tak pernah kubayangkan yang satu ini.

"JUNAEDI?!"

Lelaki itu balas menyorot dengan tatapan tak terbaca. Namun aku tahu, rencana mengubah penampilan menjadi seperti tante girang, jelas tidak menguntungkanku hari ini. Terlebih saat dia balik bertanya,

"Siapa kamu?"

"Kamu... nggak ingat aku?" Oh, aku lupa! Penampilan yang seperti ini barangkali membuat Junaedi tak mengenali. Jadi, cepat-cepat aku balik badan, menarik buntalan bra yang dipakai, lalu menunduk sejenak untuk menghapus make-up yang bisa mengalahkan tebalnya tembok besar China. Setelah memastikan wajah lebih baik, meski bekas-bekas make up masih kelihatan, aku kembali menatap depan. "Sekarang, gimana? Kamu ingat aku?"

Lelaki itu menggeleng dengan tatapan datar. "Saya tidak mengenal kamu, dan kehadiranmu di sini sedikit mengganggu."

"Hei! Kamu bukan Junaedi? Junaedi yang nelayan itu? Junaedi yang jadi suami pura-pura-ku tiga tahun lalu?"

"Saya tidak kenal kamu."

"Masa' sih nggak kenal? Aku Ryn, yang dulu kamu selamatin!"

Pria itu menghela napas seperti menahan luapan emosi. "Saya tidak tahu dan saya tidak peduli siapa kamu. Yang jelas, kamu tidak seharusnya duduk di hadapan saya."

"Sebentar!" Aku memajukan telapak tangan demi menahan lelaki itu bicara. Kini sedang berpikir keras, kalau dia bukan Junaedi, lalu siapa? Wajahnya sangat mirip, yang berbeda hanyalah warna kulit lelaki ini lebih sehat dan cerah-meski ada beberapa sisi yang nampak belang, sedangkan Junaedi kuning Langsat dan kurang terawat. Kemudian rambutnya...aku melirik sekali lagi; rambut Junaedi panjang menyentuh tengkuk, tapi rambut pria ini undercut.

"Kamu betulan bukan Junaedi?

"Harus berapa kali saya menjawabnya?"

"Lalu apa urusanmu di sini?"

"Apa saya perlu memberitahukannya padamu? Kamu duduk di sini tanpa izin saja sudah sangat tidak sopan bagi saya. Lalu apa saya harus memberitahu tujuan datang ke restoran ini?"

Sifat menjengkelkannya mirip Junaedi, tapi di lain sisi aku merasa beda. Butuh beberapa detik lamanya, sampai terpikirkan mengajak kenalan. "Boleh tahu siapa namamu?"

"Saya punya hak untuk nggak memberitahu."

Tuh, kan! Sama banget kayak Junaedi! Kini aku menatap sinis. Meski dalam hati merindukan wajah di depan sana, kalau pria ini bukan pria yang kukenal, aku harus beranjak dari sini. Kecuali dia akan mengaku bahwa memang Junaedi.

"Kalau begitu, seenggaknya kasih tahu kenapa kamu ada di sini, Pak? Tempat ini sudah di reservasi oleh calon suami aku."

"Yakin? Tidak keliru? Pasalnya saya yang menyewa seluruh restoran ini untuk meeting dengan rekan kerja."

"Sangat yakin! Calon suamiku yang menyewanya. Harusnya kamu tidak di sini, Pak! Kamu—"

Ucapanku terhenti kala melihat bergerombol orang dengan kemeja rapi masuk ke ruangan. Junaedi KW mengangkat tangan menyapa mereka semua, dan orang-orang itu membalas dengan senyum lebar dan lambaian tangan pula.

Sejenak aku tercengang. Apa aku memang salah masuk restoran?

"Nah, kamu belum mau beranjak juga?" Pertanyaan itu membuatku kembali menatap Junaedi KW.

"Aku akan pergi, tapi sebelum itu, boleh minta kartu nama? Seenggaknya aku harus yakin bahwa kamu bukan orang yang aku kenal."

Lelaki itu menghela napas kasar, tak urung membuka dompetnya dan menarik sebuah kartu.

Aku menerima uluran tersebut, kemudian membacanya lamat-lamat dalam hati.

Gardapati Arjuna, Spesialis Konservasi Terumbu Karang, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Di detik itu, aku terpaku. Jadi, dia Junaedi asli atau Junaedi KW?!

***

A Love for JunaediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang