Sudah malam yang larut, Adit baru pulang ke rumah. Usai berkeluh kesah di makam sang ibu, Adit terpaksa harus kembali pulang ke rumah yang sama sekali tidak ia harapkan lagi.
Adit menatap sekeliling. Menelisik keadaan sekitar. Sepi, bahkan mobil yang terpajang di garasi pun tidak ada.
Lelaki itu akhirnya menghela napas lega. Kakinya melangkah masuk ke area rumah. Lalu dengan terburu-buru, ia memasuki rumah lewat pintu belakang.
Senyap. Gelap. Hampa. Tiga kata yang mendefinisikan keadaan rumah di malam hari. Bimo, Ayah Adit pasti sedang berhura-hura di luaran sana. Namun, bagi Adit sendiri, dia tak peduli bagaimana, dan apa saja tindakan Ayahnya. Selagi tidak merugikan dirinya.
Adit memasuki kamarnya. Dia menutup rapat pintu kamar lalu beranjak ingin merebahkan tubuh di kasur.
Namun, langkah Adit harus terhenti. Dia termangu. Matanya membelalak terkejut. Napas Adit tercekat, seakan-akan berhenti di saat itu juga.
"A-Ayah ..."
"Bagus, ya. Jadi, seperti ini kamu pulang. Malam terus. Ngapain di luaran sana? Mabok? Ngerokok? Foya-foya menghamburkan uang saya?"
Adit tidak menjawab satu pun pertanyaan dari Bimo. Anak laki-laki itu memilih menunduk, saat Bimo mempertajam tatapannya.
"Jawab, anak bodoh! Kamu punya mulut untuk bicara," sergah Bimo.
"Maaf." Satu kata yang hanya bisa keluar dari mulut Adit. Seolah semua kosa kata ucapan yang ia ketahui lenyap dimakan angin lalu, kecuali satu kata: maaf.
"Selama ini saya diam, Dit. Namun, kamu selalu saja seperti ini," ujar Bimo yang sudah memelankan suaranya.
Pria yang tak lagi muda itu menghembuskan napas kasar. Seperti sedang menanggung beban yang banyak, dan berat. Bimo menduduki tubuhnya di pinggiran kasur yang ada di kamar Adit.
"Saya lelah, Dit. Cari uang dengan kerja sehari-semalam. Itu semua buat kamu. Namun, apa balasanmu? Kamu malah membuat saya selalu menelan rasa kecewa," keluh Bimo bercerita.
Adit menggeleng tak percaya. Matanya memerah, menahan air mata yang nyaris jatuh dari tempatnya. Dia maju selangkah, setidaknya jarak antara anak, dan bapak itu tak lagi sejauh sebelumnya.
"Saya selalu pingin kamu jadi yang terbaik. Saya pingin kamu seperti anak-anao teman relasi bisnis saya. Mereka semua membanggakan. Sedangkan kamu?" Bimo memijat pelipisnya. Dia menengadahkan matanya, menatap Adit dengan tatapan sayu.
"Kamu tidak pernah membanggakan saya. Nilai C selalu saya terima di raport kamu, kecuali di mata pelajaran olahraga. Padahal kamu tahu, mata pelajaran olahraga itu tak terlalu penting bagi masa depan seseorang, termasuk kamu."
"Apa yang kamu harapkan dari olahraga, Dit? Tidak ada. Tidak ada uang dari olahraga. Kalau pun ada pasti hanya kecil. Lain kalau kamu pintar di bidang matematika. Kamu pasti dicari semua orang, karena kamu pintar. Tapi sepertinya kamu memang sulit untuk diberi pengertian," imbuh Bimo.
Mata Adit berkaca-kaca. Menahan derai air mata yang kekeh ingin keluar. Namun, mendengar kalimat yang baru saja terlontar, dua tangan Adit terkepal begitu saja.
Bimo menghela napas panjang. "Saya lelah, Dit. Saya cuma mau kamu mengikuti apa yang saya mau. Namun, kamu selalu mengekangnya. Kamu memang mirip dengan ibumu. Sulit diatur. Maka dari itu, saya menceraikan ibumu saat kamu masih berusia lima tahun."
Usai menyelesaikan ucapannya, Bimo melenggang pergi. Meninggalkan Adit yang berdiri mematung, mendengar uraian kalimat yang baru saja selesai dilontarkan Bimo, Ayahnya.
Adit membalikkan tubuhnya. Matanya menatap punggung Bimo yang mulai menghilang dari pandangannya. Adit tersenyum dengan getirnya.
"Apa salah Adit suka olahraga, Ayah? Adit hanya ingin jadi atlet lompat jauh, tapi kenapa Ayah tak pernah mengizinkannya? Apa salahnya?"
Adit terus bertanya-tanya. Dia menggelengkan kepala berulang kaki. Lalu kakinya melangkah, mendekati pintu kamar untuk ditutup rapat.
Usai pintu benar-benar tertutup rapat, Adit merosotkan tubuhnya di balik pintu. Dia menepis kasar air mata yang nyaris terjatuh dari pelupuk mata.
"Adit, lelah. Nggak cuma Ayah saja yang lelah, tapi Adit juga. Namun, kenapa Ayah selalu saja seperti ini. Adit memang nggak suka sama matematika. Adit sukanya olahraga. Salah?"
Adit menarik napas panjang dengan sekali tarikan. Lalu menghembuskannya pertarikanAdit menggelengkan kepalanya lagi secara berulang kali.
"Adit yang salah. Memang, begitu konsep kehidupan seorang anak, dan orang tua. Anak yang disalahkan, dan orang tua yang selalu benar."
Adit menatap langit-langit kamarnya. Kosong, dan sepi. Tekanan hidupnya semakin hari semakin berat. Ia salah? Haruskah dia benar-benar salah? Atau memang tidak ada lagi kebenaran yang melekat pada jiwanya usai sepeninggalan mendiang sang ibu?
Adit mengangangkat satu tangannya ke atas. Mengambang di udara. Adit mengepalkan tangan itu, lalu membukanya kembali.
"Jika ada titik terendah seseorang, bukankah berarti akan ada titik puncak seseorang? Tuhan, kapan Adit bisa mencapai di titik puncak itu?"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
LELAH
Teen FictionSemua orang boleh berusaha sekeras mungkin untuk mencapai sesuatu. Namun, semua orang juga boleh beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Tanpa terkecuali seorang pun, tetapi kenapa Adit tidak boleh lelah? *** Adhitama Sabian. Lelaki 17 tahun yang...