9. Irish

10 0 0
                                    

Adit tak habis pikir dengan pola pikir sebagian murid di sekolah ini. Ia hanya sedikit memberikan cacian kepada Kara untuk sebuah pembelajaran gadis itu. Namun, justru Adit yang mendapatkan bertubi-tubi cacian yang menyebalkan.

Di mana cacian mereka terhadap Kara sewaktu perempuan itu menghinanya?

Di mana mereka saat Kara membulyy dirinya setiap hari?

Apa mereka berniat membantu Adit?

Tentu saja, tidak.

Hanya dengan popularitas yang telah dimiliki, Kara bisa mendapatkan rasa simpati dari semua. Sedangkan jelas-jelas Adit, lah yang harus diberi simpati kalau bisa sebanyak mungkin. Adit tertekan hidup lima tahun ini, tetapi apa ada yang peduli?

Adit menghela napas begitu panjang. Kini, lelaki jangkung itu berada di rooftop. Salah satu tempat terbaik untuk tempat pelarian, dan penenangan hati yang tertekan.

Desiran angin menyapu lembut wajah Adit. Adit memejamkan kedua mata sejenak lalu kembali membukanya usai beberapa detik. Tatapan Adit beralih ke atas, menatap langit yang memiliki warna biru muda pekat.

"Ibu, apa kabar? Adit kangen, Bu. Adit lelah. Bisa menyusul ke tempat Ibu?" gumam Adit bertanya. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar meskipun dalam jarak semeter dari tubuh Adit.

Adit menundukkan kepala. Otomatis tatapannya beralih ke lantai rooftop. Tak lama, tubuh Adit merosot jatuh dengan tangan yang terkepal kuat. Tatapan sendu berubah menjadi tatapan penuh benci, dan kedendaman.

"Kenapa semua orang nggak ada yang sedikit pun simpati sama Adit? Kenapa semua orang seolah-olah ingin merusak cita-cita Adit yang selama ini ingin Adit capai? Begitu remehnya, kah, seorang atlet lompat jauh sampai banyak orang yang tak peduli dengan cita-cita Adit yang satu ini?"

Setetes bening air mata jatuh dari pelupuk mata Adit. Satu tangan Adit segera menepis tetesan air mata itu. Tubuhnya bergetar hebat, menahan tangis yang meronta ingin dilontarkan.

"Nggak, nggak, aku nggak boleh nangis. Anak cowok nggak boleh nangis atau harus dianggap lemah lagi," ucap Adit dengan lantang agar ia bisa meredakan sesuatu sesak yang selama ini terkurung dalam lubuk hati yang terdalam.

"Kata siapa cowok nggak boleh nangis?"

Adit membuka mata dengan lebar. Dia menyeka air-air dari pelupuk mata yang nyaris jatuh dari tempatnya. Adit bangkit berdiri, lalu berbalik menghadap seseorang yang berada di belakangnya.

"Adit, ya?" tebak perempuan itu.

"Kenapa?" Adit tak menjawab tebakan gadis itu, ia malah bertanya membuat perempuan bername tag Irish itu tertawa kecil.

"Kenapa lo ketawa?"

Irish menghentikan tawanya. Senyum kecil terbit di wajah milik Irish. "Kata siapa cowok nangis itu dianggap lemah?"

"Kata banyak orang. Memang benar begitu, kan?"

"Bodoh banget, sih. Masih percayaan aja sama perkataan dari orang lain." Irish mendekati Adit. Dua tangannya mencengkram kuat bahu tegap Adit. "Dengar, ya, Dit. Nggak cuma cewek aja yang boleh nangis. Boleh sedih. Boleh apapun itu. Cowok juga berhak nangis. Ada kalanya cowok juga ngerasa sedih. So, nggak usah sok tegar gitu. Lo bukan keliatan tegar, tapi menyedihkan."

Adit mengulum senyum tipis. Lelaki itu kemudian menepis dua tangan Irish yang mencengkram bahu miliknya.

"Hidup gue emang menyedihkan, Irish. Lo harus tahu itu," ujar Adit dengan nada suara pelan. Namun, kosakata aku-kamu kini telah dihillangkan Adit, digantikan oleh kosakata gue-lo.

"Kalau memang hidup lo se-menyedihkan itu. Lalu kenapa lo nggak berusaha buat hidup lo berubah menjadi se-bahagia yang lo mau?"

"Karena gue nggak ada hak. Apapun yang gue lakukan atas perintah Papa. Kalau pun gue nggak nurutin dia, gue yang dapat sengsara. Cita-cita gue harus terkubur sejak lima tahun lalu. Sejak ibu gue meninggal lalu pria yang gue sebut Ayah datang dan nawarin ngerawat gue."

"Bodohnya gue adalah nerima tawaran dari Ayah yang cuma mementingkan harga dirinya sendiri, tanpa pernah peduli sama gue, anaknya sendiri."

Irish tersenyum. Gadis itu kini mulai paham dengan apa yang dialami Adit. Setidaknya hidup mereka tak jauh berbeda.

"Lagi pula lo ngapain ke sini?"

"Lho, tempat ini, kan milik umum. Gue bisa kapanpun ke sini, semau gue."

"Oh, lo Irish? Gue jarang lihat lo," ujar Adit dengan jujur.

"Gimana lo lihat gue kalau atensi lo terus-terusan menuju Kara? Gue itu bagaikan butiran debu di atas ribuan butiran berlian. Paham?"

Adit menggeleng polos. "Omongan lo ambigu. Gue pun nggak pernah ngelihat Kara lebih dari dia adalah perempuan ular."

"Udah, ya. Gue cabut dulu. Siapa tau ini tempat mau lo pake buat semedi pesugihan. Kan gue nggak tau," ucap Irish mengundang tawa Adit.

"Lo kalau ketawa ganteng, Dit. Serius," tutur Irish membuat Adit termangu sejenak.

Adit tersenyum tulus. "Gue emang ganteng, sih."

Irish mencebik kesal. Perempuan itu memukul pelan bahu Adit. Kemudian menepuk bahu yang baru saja ia pukul.

"Gue cabut, Dit. Eh, gue cuma mau bilang ke lo. Jangan nilai orang lain cuma lewat dari cover, termasuk penilaian lo terhadap Kara." Seusai itu, Irish melenggang pergi. Meninggalkan Adit yang masih bingung dengan ucapan gadis yang baru dikenalinya.

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang