8. Kara, lagi.

11 0 0
                                    

Sudah dua jam, Adit berjemur di bawah terik panas matahari. Lagi, ia mendapatkan hukuman seperti ini dari Bu Linda. Bukan merasa jera, Adit merasa muak. Ia ingin mengakhiri masa Sma-nya dengan segera. Melepas semua beban, dan penat lalu bebas melakukan apa yang ia mau.

Tak harus terjerat dengan banyaknya tugas sekolah. Tak harus dipaksa mematuhi perintah dari berbagai pihak berkuasa, termasuk Ayahnya.

Jika, ada yang bertanya apa keinginan utama di masa ini. Maka, Adit akan dengan lantang menjawab dengan satu kata saja, yaitu:mati.

Mati memang terlihat mudah dalam bayang-bayang imajinasi. Namun, saat ingin dilakukan oleh Adit sendiri, bayang-bayang mendiang sang ibu terus menghantuinya. Membuat Adit mau tak mau harus terus menggagalkan misinya untuk pergi segera dari dunia fana ini.

"Panas sekali. Ini matahari memang selalu jahat dengan diriku," gerutu Adit seraya menghapus jejak-jejak keringat yang keluar dari pori-pori wajahnya.

Adit mengangkat satu tangannya. Dia melihat jam tangan lalu menghela napas lega. Kurang dari lima menit lagi, jam istirahat akan tiba. Itu berarti masa hukumannya akan segera berakhir.

"Lima belas menit lagi, Adit. Ayo, kamu harus semangat. Jadi, anak lelaki nggak boleh lemah, bukan?" ucap Adit menyemangati diri sendiri yang sudah mulai pias dengan keganasan sang dewa panas, yang tak lain, dan tak bukan adalah Matahari.

Detik terus berdetak. Menit terus berjalan. Setiap menit dihitung oleh Adit. Berharap bel istirahat itu segera datang, mengeluarkan suara merdunya agar Adit bisa melepas lelah di pinggir kantin. Setidaknya, ia bisa meminum air bersih, meskipun setetes saja.

Waktu yang ditunggu pun tiba, bel istirahat telah berbunyi. Banyak murid yang keluar dari kelas langsung berhamburan ke berbagai arah yang tak menentu. Seperti mereka, Adit juga berangsur pergi. Meninggalkan tiang bendera merah putih, untuk pergi melepas lelahnya dengan pergi ke kantin dalam sekolahnya.

"Adit, hei, tunggu!"

Adit menghentikan langkahnya. Dia membalikkan tubuhnya, menghadap seseorang yang memanggilnya. Tatapan Adit langsung terbuang ke sembarang arah, tak ingin menatap langsung seorang perempuan ular seperti Kara.

Kara tersenyum manis. Perempuan itu menyodorkan sebotol air mineral ke hadapan Adit.  Membuat kernyitan jelas di dahi Adit.

"Apa, nih?" tanya Adit terheran dengan sikap manis dari Kara yang diketahui adalah seorang perempuan ular berbisa.

"Air mineral, dong. Buat lo, Dit. Gue beliin buat lo. Terima, gih."

Adit mendatarkan senyumannya. Tatapannya berubah sangat datar, hingga yang ditatap merasa salah tingkah sendiri. Adit mengangkat dua bahu secara acuh, lalu berniat melenggang pergi. Sebelum tangannya terlebih dahulu dicekal oleh Kara dari belakang.

"Terima dulu airnya. Baru lo boleh pergi," ucap Kara merengek.

Adit menghembuskan napas kesal. Tak segan-segan Adit melemparkan tatapan penuh benci ke arah Kara. Namun, sepertinya perempuan itu memilih acuh dengan tatapan Adit.

"Buruan, deh!"

"Apa alasan kamu sok bersikap manis seperti ini?"

Kara mengulum senyum manis. Dia memberikan botol air mineral itu ke tangan Adit, hingga botol itu kini telah berada di genggaman yang berbeda.

"Apa maksudnya?" tegas Adit kembali bertanya.

Kara tertawa kecil. Dia memilin kuku-kuku jemari tangannya. "Gue cuma mau ngucapin selamat aja, kok. Anggap aja itu air mineral sebagai hadiah atas usaha lo."

"Usaha apa?"

Kara tersenyum menyeringai. Seringaian yang sama seperti milik Bimo. Perempuan itu mendekati Adit, membuat secara spontan Adit menjaga jarak dengan perempuan itu.

"Jangan mundur, tolol!" seru Kara dengan nada pelan, tetapi bisa membuat kaki Adit tak berkutik lagi untuk melangkah mundur.

"Kamu mau apa?" tanya Adit sekali lagi. Tubuhnya bergetar. Kelebatan demi kelebatan bayangan kelam atas perbuatan Bimo sejak lima tahun lalu kembali terulang dari benak Adit.

Adit memejamkan matanya saat Kara mengernyitkan dahi. Lelaki itu terus menggerutu tanpa suara. Kara semakin dibuat aneh dengan sikap Adit yang sekarang ini. Bahkan kerumunan orang tercipta dengan sendirinya.

Kara mendengkus kesal. Mau tidak mau, dia haris menyadarkan Adit. Kara menampar keras pipi kanan Adit, hingga suara tamparan menggema keras. Banyak yang bersorak, menyoraki perlakuam Kara yang mereka anggap sangat keren.

Adit membuka kelopak matanya. Tatapan sendu berubah menajam tatkala berbalas tatapan dengan tatapan elang milik Kara.

"Apa maksud kamu, Nona Kara yang terhormat?" Seulas senyum miring tercipta di sudut bibir Adit. Aura Adit berubah seketika karena perlakuan dari Kara.

"Gue cuma mau lo terima air mineral ini!" sergah Kara tetap kekeh ingin Adit menerima pemberian botol air mineralnya. Kara kembali menyodorkan botol itu ke hadapan Adit.

Adit tertawa sejenak. "Lihat, kalian lihat semua. Seorang cewek cantik yang bernama Kara ini bahkam seperti mengemis kepadaku hanya untuk seorang lelaki culun bernama Adit menerima pemberian botol air minum dari tangannya."

Adit melangkah mendekati Kara. Membuat Kara mundut dengan wajah piasnya.

"Lo mau apa, Dit?"

"Kamu tahu, Kara? Apa yang lebih rendah dari sampah?" tanya Adit kepada Kara.

Kara menggeleng sebagai jawaban. Membuat Adit mengulum senyum sinis.

"Ya, kamu. Nona Kara yang rendah melebihi sampah sekali pun!"

***

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang