13. Sehari bersama mereka

4 0 0
                                    

Amembawa adik-adiknya yang ada di panti asuhan ke taman dekat panti asuhan. Dia duduk di salah satu bangku di sudut taman seraya memperhatikan aktivitas adik-adiknya dari jarak sekitar tiga meter.

Mereka tertawa begitu lepas. Bahagia tanpa beban. Bersama tak peduli bagaimana rasa sakit terdahulu sudah sembuh atau belum.

"Kak Adit, ayo main!" Loly mengajak Adit dengan berteriak cukup keras. Adit menganggukan kepala lalu bangkit berdiri untuk kemudian melangkahkan kaki, menghampiri mereka.

"Kak Adit, main petak umpet, yuk!" seru Bian yang langsung diangguki antusias oleh semua temannya, terkecuali Adit.

Mata Adit menelisik sekeliling. Taman di sini begitu luas. Tidak mungkin, Adit, dan adik-adiknya bermain petak umpet di tempat seluas ini. Terlebih taman sedang ramai-ramainya sekarang.

Adit menggeleng, menolak seruan Bian. Kemudian,  suara helaan napas kesal, dan berbagai gerutuan ditangkap telinga Adit. Adit mengulum senyum, lalu mensejajarkan tubuhnya dengan mereka.

"Kak Adit kenapa nolak?" tanya Jaka dengan kesal.

"Terlalu bahaya main petak umpet di sini. Ingat, ini tempat bukan sepenuhnya tempat kita," ucap Adit memberi pengertian. Adit mengusap pelan rambut Jaka. "Kalau ada apa-apa sama kalian nanti yang repot, 'kan, Kak Adit juga."

"Terus kita main apa, dong?" Si mungil bernama Sasa bertanya seraya mencebik kesal.

Adit termenung. Satu jarinya ia ketuk di dagu berulang kali. Berselang beberapa detik, Adit menjetikkan jemari tangannya.

"Kak Adit tahu kita harus main apa di sini," ucapnya menggantung. Ucapan tersebut lah yang mengundang rasa penasaran anak-anak berusia 7 tahun di hadapan Adit.

"Kak Adit, main apa, sih?" tanya Karel seraya mengalungkan tubuhnya di kaki kanan Adit.

Adit tertawa geli. Kemudian ia melepaskan tubuh Karel dari kaki kanannya. Adit mengusap lembut rambut Karel, lalu berkata, "main kucing-kucingan."

"Di sini, 'kan, nggak ada kucing untuk main, Kak!" seru Bian yang dihadiahi ledakan tawa dari Adit.

Semua anak menatap Adit. Kernyitan bingung tercetak jelas di dahi mereka masing-masing. Adit menghentikan tawanya, lalu tersenyum menatap satu per satu semua anak yang kuanggap sebagai Adik.

"Main kucing-kucingan bukan berarti harus ada kucingnya."

"Lalu?" Kia menyela perkataan Adit.

Adit mengulum senyum cerah. "Mau dijelasin banget, nih?"

Serempak mereka mengangguk serata menyahuti dengan semangat, "mau kak Adit!"

Adit menganggukan kepala, pertanda ia mengiyakan permintaan dari adik-adiknya.

"Jadi, main kucing-kucingan itu adalah ... ada dua orang yang akan jadi kucing, dan tikus. Lalu sisanya akan berdiri dengan posisi melingkar. Nah, kita harus selamatkan tikus dari kejaran kucing. Jika, tikus tertangkap oleh kucing, maka pemain tikus, dan kucingnya akan diganti bergiliran."

Adit menarik napas panjang. Menghembuskannya dengan satu kali buangan seraya mengulas senyum lebar.

"Apa kalian paham?"

"Paham!" jawab mereka serempak. Kemudian, beberapa dari mereka saling bertepuk tangan bahagia.

"Kak Adit, mainnya sekarang, ya!" Kia berseru dengan semangat membuat Adit menganggukan kepala berulang kali.

"Sebelum dimulai permainannya. Siapa kira-kira yang mau jadi tikus, dan kucing?".

Sontak semua dari mereka langsung mengangkatkan satu tangan ke atas. Tak hanya itu, mereka juga menyerukan nama peran yang ingin didapatkan.

"Eh, eh, kakak yang pilih, ya," ucap Adit, berusaha mendamaikan keadaan.

"Jaka jadi kucingnya, Loly jadi tikusnya. Oke?"

"Oke!" sahut mereka serempak.

"Kak Adit, nanti gantian, 'kan?" tanya Fafa kepada Adit.

Adit menganggukan kepala. "Iya, dong. Kalau Loly ketangkap Jaka, berarti nanti tukaran peran."

"Ayo, Kak! Kita mulai!" Kia berseru lagi dengan rasa semangat.

"Yang nggak jadi kucing, dan tikus buat barisan melingkar. Ayo, cepat!"

"Adit!"

Adit menegang. Dia berbalik ke arah belakang, menghadap ke seorang pemilik suara yang memanggilnya barusan. Pemilik suara itu kemudian melangkahkan kaki, menghampiri Adit dengan senyuman lebarnya.

"Irish? Kamu, kok, ada di sini?"

Irish mendengkus kesal. "Memang taman di sini itu bukan untuk umum?"

Adit terkekeh pelan lalu menggarukkan tengkuknya yang tak gatal. "Maaf, Ir."

"Oke, oke, santai aja, Dit. Btw, ngapain lo di sini? Banyak anak kecil lagi," ujar Irish sembari melirik anak-anak yang berdiri di belakang Adit.

"Oh, mereka adik-adik gue," balas Adit santai. Lain dengan Adit, Irish membelalakkan matanya terkejut.

"Adik kandung lo?" kejut Irish yang dibalas ledakan tawa Adit.

"Ya, bukan kandung. Mereka itu sebenarnya anak panti asuhan, cuma sudah aku anggap adik-adik aku sendiri, karena sudah dari lama kita bermain bersama," papar Adit menjelaskan.

Irish mengangguk kepala, tanda ia mengerti. "Terus kalian lagi ngapain?"

"Mau main kucing-kucingan. Mau ikut?"

Irish mengangguk antusias. "Boleh, Dit? Gue sudah lama nggak main itu."

"Boleh, dong! Yuk!"

Adit berbalik, kembali berhadapan dengan adik-adiknya. Lalu ia bertepuk tangan untuk mengalihkan fokus mereka ke arah Adit.

"Adik-adiknya Kak Adit, ini Kak Irish, teman sekolah kak Adit. Say hai dulu, dong."

"Hai, Kak Irish!" seru mereka seraya melambaikan tangan.

Irish ikut melambaikan tangannya. "Hai semua."

Kemudian, Adit memperkenalkan satu per satu nama dari mereka. Dimulai dari Kia, hingga nama Jaka.

"Oke, sekarang kita mulai, ya?" tanya Adit memulai aba-aba.

"Iya!" jawab mereka serempak, termasuk Irish yang terlihat ikut antusias bermain.

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang