14. GPP

6 0 0
                                    

Adit bersama Irish telah mengantarkan anak-anak panti ke tempat mereka berada. Kini, dua remaja berlawanan jenis itu tengah menikmati es krim di salah satu sudut taman yang sebelumnya menjadi tempat mereka bermain.

"Dit, diantara coklat sama vanila, lo lebih suka yang mana?" tanya Irish yang kemudian kembali menjilati es krim di genggamannya.

"Aku? Aku lebih suka kisah masa lalu yang telah kualami daripada cokelat ataupun vanila," jawab Adit yang membuat Irish mengernyit bingung.

"Maksud lo? Lo pasti ada seseorang spesial, ya? Siapa? Pasti ceweknya cantik banget, ya?" Dari nada bicara Irish, terlihat dia begitu antusias bertanya. Lain di mulut, lain di hati. Terbukti dengan genggaman tangannya di wadah es krim yang semakin erat.

"Iya, dia cantik sekali. Bahkan kalau bisa disandingkan dengan bidadari, mungkin mereka mirip."

Hati Irish bergemuruh sakit. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Saat mendengar jawaban-jawaban Adit dari beberapa pertanyaan yang terlontar dari mulut Irish, entah mengapa hati Irish merasa sakit.

Irish menghembuskan napas panjang. "Siapa, Dit? Lo bisa kenalin gue ke dia?"

"Dia ..." Adit menatap langit yang berwarna biru cerah. Kemudian satu jari ia angkat ke atas. "Ibuku. Seorang wanita yang merupakan malaikat tak bersayapku. Sayang sekali, Ir, aku nggak bisa mengenalkan dia ke kamu."

Irish membuang napas lega. Ternyata perempuan yang spesial di masa lalu Adit bukan seorang perempuan yang tak memiliki hubungan darah dengan lelaki itu seperti seorang mantan pacar, mungkin?

"Kenapa gitu?"

Tatapan Adit beralih tatapan ke arah Irish. Dia mengulum senyum tipis. Senyuman yang menyimpan sejuta luka yang tersembunyi di dalamnya.

"Aku, kamu, dan ibuku sudah beda alam, Rish. Ibuku sudah meninggal sejak aku masih berusia dua belas tahun. Kejadian itu menyakiti aku."

Irish termangu sejenak. Sebelum akhirnya satu tangannya mendarat di bahu Adit, lalu mengusap bahu lelaki yang tak tahu bagaimana caranya bisa membuat seorang Irish merasa berbeda dari biasanya.

Adit menepis pelan tangan Irish. Tindakan tersebu membuat Irish menautkan dua alisnya.

"Lo kenapa, Dit?"

"Maaf, Irish. Aku tak suka dengan tindakanmu tadi. Aku tidak suka dikasihani," jawab Adit pelan.

"Gue ... hanya memberi simpati kepada lo. Salah?"

Adit mengangguk mantap. "Aku nggak semenyedihkan itu untuk dapat simpati dari orang lain, Rish. Tolong mengerti."

"Baiklah, maafkan gue, Dit."

"Iya."

"Dit, lo mau langsung balik atau di sini dahulu sampai matahari terbenam?"

"Di sini dahulu."

"Kenapa?"

"Kenapa kamu tanya kenapa?"

Irish menggelengkan kepala. "Mau gue temanin?"

"Itu seterah kamu, Rish. Kalau kamu berminat menemani aku di sini menunggu matahari terbenam, ya sudah jangan bangkit berdiri."

Irish mendengkus kesal. Dia mencibir Adit tanpa suara. Lalu ia membalas perkataan Adit. "Iya, iya. Dasar GPP, kok!"

"Gak apa- apa, apa maksudmu, Rish? Kok, diawali dengan kata Dasar juga?"

Irish mencebik kesal. Kemudian tubuhnya disandarkan di sandaran kursi panjang yang ia, dan Adit duduki.

"Kata siapa kepanjangan singkatan dari GPP itu nggak apa-apa saja?"

"Lalu apa lagi kalau bukan itu?"

"GPP itu singkatan dari Gak Peka-Peka!" ketus Irish.

"Aku baru tahu. Itu singkatan bersumber dari mana, ya?"

"Dari semua cewek yang mau ngode cowoknya yang nggak peka-peka," sebal Irish membuat Adit tertawa kecil.

"Tapi, Rish, aku kan bukan cowok kamu. Kok, kamu sebut singkatan GPP itu, sih?"

Irish mematung sejenak. Lalu kedua pipi miliknya bersemu merah, menahan malu akibat pertanyaan polos dari Adit. Namun, jika diteliti lebih dalam lagi, Irish lah yang salah, karena berbicara dengan lelaki yang minim kepekaaan, tetapi maksimal polosnya.

"Rish, pipi kamu merah. Kamu habis ditampar siapa? apa jangan-jangan di sini ada hantu, ya? Sampai bisa tampar kamu gitu. Merah beneran, lho, Rish." Adit bergidik ngeri.

Irish merenggut kesal. Lalu memukuli bahu kanan Adit berulang kali. Setelah puas memukuli Adit, perempuan itu pun bangkit berdiri.

Saat kaki Irish ingin melangkah. Satu tangannya lebih dahulu tercekal oleh genggaman tangan Adit. Irish menatap kesal ke arah Adit. Lain dengan Adit yang menaikkan satu alisnya.

"Kamu kenapa, Rish? Aku ada salah, ya? Aku salah ngomong? Oh, atau apa? Kamu marah, ya?"

"Nggak," jawab Irish singkat. Ia menepis kasar tangan Adit yang mencekal tangannya. Lalu kedua tangannya beralih gaya bersedekap dada.

"Nggak usah pegang-pegang. Lagi kesal gue!" seru Irish dengan penuh kekesalan.

Adit menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. Kemudian, ia menyugar rambutnya, sebelum berkata, "aku salah, ya, Rish? Salahku apa?"

"Tahu tempe, lah."

"Kamu mau makan tahu tempe, Rish? Yuk kita beli di pinggir jalan banyak biasanya."

Irish menghela napas pasrah. Berselang beberapa detik, dia mengangkat dua tangannya, tanda benar-benar menyerah dengan sikap Adit sekarang yang begitu menyebalkan.

"Dit, gue pulang."

"Oh, oke, hati-hati, Rish."

Akhirnya, Irish pun beranjak pergi. Meninggalkan Adit yang tengah melambaikan tangan seraya menatap kepergian Irish. Lain dengan Adit, Irish terus saja mencaci, dan memaki dirinya sendiri yang bisa-bisanya jatuh cinta dengan lelaki seperti Adit. Bahkan Irish baru sadar setelah ia bermain permainan tradisional bersama Adit, dan anak-anak panti.

"Dasar cowok GPP!" teriak Irish dari kejauhan. Meski begitu, Irish sepenuhnya yakin jika Adit masih bisa mendengar teriakannya.

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang