5. Belajar

13 1 0
                                    

Adit melangkah lunglai menuju ruang BK. Dia harus terpanggil oleh guru Bk, karena tindakan bolos jam sekolah yang sudah dilakukan berulang kali.

Adit menghela napas pelan saat berada di depan pintu ruang BK. Dia mengetuk pintu. Lalu membukanya tatkala mendengar sahutan dari dalam sana.

"Adit, silahkan duduk," ujar Bu Dina, guru BK di sekolah ini.

Adit mengangguk sekilas. Dia menuruti permintaan Bu Dina. Lelaki itu duduk di hadapan Bu Dina.

"Kamu tahu alasan saya memanggilmu?" tanya Bu Dina kepada Adit.

Adit mengangguk untuk kedua kalinya. "Saya kemarin bolos, Bu."

"Baiklah, kamu tahu ..."

"Saya punya alasan bolos kemarin," sela Adit ketika Bu Dina sedang berbicara.

"Apa alasanmu sekarang?"

"Saya dibully," jawab Adit lugas, "lalu saya dilempari banyak sampah, membuat tubuh saya menjadi bau. Saya rasa jika saya tetap nekat masuk ke kelas, saya akan diusir oleh guru pengajar."

"Alasanmu selalu seperti itu, Adit. Saya bertanya kepada Kara jika kejadiannya tidak seperti itu," ucap Bu Dina menolak percaya dengan alasan Adit.

"Kara siapa?" Mendengar nama Kara, raut wajah  berikut nada suara Adit berubah datar.

"Kara Angelica. Anak dari ketua pengurus yayasan sekolah ini," jawab Bu Dina. Beliau menghela napas panjang, kemudian menyerahkan selembar kertas yang diyakini Adit adalah surat pemanggilan orang tua.

"Surat panggilan orang tua?" tebak Adit yang diangguki oleh Bu Dina.

"Tolong, besok  wali kamu harus benar-benar datang."

Adit terkekeh kecil. "Wali saya? Ayah saya yang Anda maksud, Bu?"

Bu Dina mengangguk seraya tersenyum tipis. Hal itu membuat Adit kembali terkekeh.

"Ayah saya mana sudi datang ke sekolah hanya karena mendapatkan surat panggilan orang tua seperti ini. Ayah saya akan datang ke sekolah jika saya mendapatkan peringkat satu paralel. Padahal ..."

"Kenapa kamu tidak berusaha menjadi peringkat satu?" tanya Bu Dina, menyela penjelasan Adit.

Adit menggeleng pelan. "Saya tidak berminat menjadi siswa peringkat pertama."

"Kenapa tidak?"

"Saya tidak suka. Saya hanya berminat menjadi atlet lompat jauh."

"Kalau begitu, buktikan kepada semuanya jika seorang Adhitama Sabian mampu menjadi atlet lompat jauh."

"Saya selalu membuktikannya saat membolos sekolah," sahut Adit.

"Oh, ya?"

"Ya, begitu. Kalau Ibu tak percaya, nanti saat istirahat lihat saja di kantin. Bagaimana kondisi yang selalu saya alami di sana yang pada akhirnya berujung kepada saya yang memilih bolos sekolah," papar Adit.

"Kalau kejadian nanti tak sesuai dengan paparan kamu tadi. Saya minta kamu belajar dengan rajin selama seminggu penuh. Mendapatkan nilai A plus di penilaian matematika lusa."

Adit mengangguk tanpa berpikir terlebih dahulu. Dia langsung mengiyakan ucapan Bu Dina. Sebab lelaki itu yakin, jika nanti Bu Dina pasti percaya apa yang selalu ia alami saat waktu istirahat.

Sayang sekali, tanpa sepengetahuan Adit maupun Bu Dina. Ada seseorang di balik pintu yang menguping semua pembicaraan mereka, termasuk hal yang menjadi taruhan antara Bu Dina, dan Adit. Diam-diam orang itu tersenyum miring, dan melenggang pergi, menjauh dari ruang Bk untuk menyiapkan suatu kejutan bagus untuk Adit nanti.

***

Adit melaju cepat ke kantin. Dia memasuki area kantin. Lelaki itu segera memesan seporsi nasi goreng kepada ibu kantin.

Kantin pada jam istirahat ini ramai sekali. Namun, tak sedikit pun yang mencaci dan maki Adit seperti biasanya. Adit memilih untuk memakan nasi gorengnya terlebih dahulu.

"Kara, kamu akan tahu akibatnya," gumam Adit sembari mengulum senyum tipis.

Dua matanya terus menelisik sekitar. Mengelilingi dan memahami situasi di kantin sekarang. Di seberang Adit, ada Kara yang tengan bercanda ria dengan ketiga temannya.

Adit mengernyit heran. Satu pun tidak ada yang membully-nya. Satu orang pun tak ada yang melempari sampah ke arahnya. Apakah mereka sudah bertobat? Jika begitu, matilah Adit.

"Ini, minuman buat lo. Gue lihat lo cuma beli nasi goreng aja tanpa beli air mineral," ucap Kara yang secara tiba-tiba bersikap manis kepada Adit, membawakan sebotol air mineral, dan berbicara dengan nada sopan.

Adit mengerutkan dahinya. "Tidak seperti biasanya kamu seperti ini, Kara," sindir Adit.

Kara hanya tersenyum tipis. Lalu pamit undur diri, dan melenggang pergi meninggalkan Adit yang menampakkan raut wajah bingung.

"Ada apa, sih, sebenarnya? Kenapa semua orang terlihat baik kepadaku sekarang? Atau mereka ..."

Mulut Adit terbuka lebar. Secara cepat, ia menutup mulut yang menganga itu. "Sialan, mereka sangat licik," geram Adit.

Tak lama dari itu, Bu Dina menghampiri Adit. Memberikan jeweran di telinga kanan Adit membuat si korban merintih kesakitan.

"Aduh, sakit, Bu," ringis Adit.

"Sakit, sakit. Kamu, tuh, ya ... suka banget bohongin orang tua. Kualat lho nanti," omel Bu Dina yang satu tangannya masih menjewer telinga Adit.

"Saya bohong apa?"

"Jangan pura-pura lupa!" sentak Bu Dina, "katamu, di kantin kamu selalu dibully. Namun, dari tadi saya lihat kamu sama sekali tak dibully. Makan dengan tenang. Bahkan tadi Kara yang katamu sering membully-mu saja malah memberikan sebotol air mineral."

"Apa? Aku bully Adit? Nggak mungkin banget, Bu," ucap Kara yang tiba-tiba ada di sebelah kanan Bu Dina.

"Iya. Makanya saya nggak percaya sama anak nakal ini." Bu Dina memperkuat jewerannya. Adit melayangkan tatapan tajam ke arah Kara. Sedangkan Kara ikut membalas tatapan tajam Adit dengan tatapan mengejek.

"Adit." Bu Dina melepaskan jewerannya membuat Adit bisa menghela napas lega sejenak.

"Ya, Bu?"

"Kamu ingat atas perjanjian kita?" tanya Bu Dina.

Adit mengangguk lesu. "Saya akan usahakan."

Diam-diam Kara mengulum senyum penuh kemenangan. Matanya mengerling puas saat melihat Bu Dina tidak percaya dengan perkataan Adit tadi pagi.

Rasain lo Adit. Makanya jangan main-main sama seorang Kara. Eh, maafin aku, Adit. Aku harus seperti ini agar kamu bisa mengingatku kembali, batin Kara.

**

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang