11. Dekat

7 0 0
                                    

Pagi harinya, Adit kembali bersekolah. Di setiap langkah menuju ke kelas, berbagai lontaran yang berisikan cacian, dan makian terus tertuju kepadanya. Sebisa mungkin pula, Adit tidak terpengaruh, dan berusaha mengabaikan.

Ia sudah cukup lelah tadi malam. Menyamarkan luka-luka bekas cambukan dari Bimo yang membabi buta kemarin sore. Kini, ia hanya butuh sedikit ketenangan hati, meskipun kedua telinga terus menangkap hal-hal yang tak ingin ia dengarkan sekarang juga.

"Adit!"

Adit menghentikan langkahnya. Dia menghela napas kesal. Bukan kesal tanpa alasan, jarak antara dirinya dan kelas sekarang hanya tinggal beberapa langkah. Lalu, sekarang ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.

Adit membalikkan tubuh. Menghadap ke seorang perempuan yang sudah berdiri di belakangnya dengan tangan yang terulur bersama kotak makan.

"Irish? Ngapain kamu manggil aku?" tanya Adit.

Irish berdecak pelan. "Lo kalau manggil orang nggak konsisten banget, sih, Dit! Kemarin pakai lo-gue, sekarang pakai aku-kamu. Dih, plin-plan jadi orang."

Adit menghela napas untuk kedua kalinya.

"Ya, seterah aku. Ini, 'kan mulutku. Bukan mulut kamu, Irish. Lagi pula kenapa kamu panggil aku? Pakai teriak-teriak segala lagi, malu tahu!"

Irish mengibaskan rambutnya yang tergerai bebas. Kemudian ia menarik satu tangan Adit untuk menerima uluran kotak makan darinya.

"Ini makanan buat lo. Nanti istirahat, makan bareng gue di taman belakang sekolah, ya. Awas saja lo nggak ke sana. Gue tonjok, nih," ucap Irish.

"Memang kamu bisa menonjok orang? Kamu, kan ..."

"Gini-gini, gue itu atlet petinju. Makanya kalau lo belum kenal gue, nanti pas istirahat kita kenal lebih dekat." Kemudian, Irish tertawa kecil.

Adit menganggukkan kepala berulang kali. "Makasih atas makanannya. Aku akan berusaha ke sana, tapi nggak janji. Kamu tahu, aku selalu dibully di sini."

"Mulai detik ini lo nggak akan diganggu lagi sama mereka. Tapi kalau sama Kara, ya, gue nggak bisa jamin, sih." Kemudian, perempuan itu bersedekap dada.

"Maksud kamu?"

Irish tidak membalas pertanyaan bingung dari Adit. Perempuan itu menatap sekelilingnya. Kemudian, berdehem cukup keras.

"Mulai detik ini, siapapun yang berani ganggu Adit bakal bermasalah sama gue." Dengan sengaja, Irish meninggikan suaranya, membuat suasana yang awal riuh berubah senyap.

Semua orang di sekitar mereka menunduk. Tidak ada yang berani menatap ke arah Adit, dan Irish. Lebih tepatnya, mereka sangat takut dengan Irish.

"Paham, nggak?" teriak Irish bertanya.

"Paham," seloroh mereka menjawab lalu mulai kembali melakukan aktivitas yang sebelumnya, kecuali mencaci, dan memaki Adit.

"Irish, kamu apa-apaan, sih?"

Irish kembali mengarah ke Adit. Dia mengulas senyum lebar. "Kenapa? Sudah nggak akan ada yang mengganggu lo lagi, Dit. Terima kasih dulu dong ke gue."

Adit mendengkus malas, tetapi tetap tak urung untuk berkata, "Terima kasih, Irish."

Selesai itu, Adit melenggang pergi. Masuk ke dalam kelas. Diikuti oleh Irish di belakangnya.

Beberapa meter ke belakang dari Adit, dan Irish, seorang gadis berambut panjang mengulum senyum tipis. Dia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali setelah beberapa detik berlalu.

"Semoga kedatangan Irish bisa menjadi awal dari kebahagiaan kamu, Dit. Namun, tidak menutup kemungkinan kalau rencana tetaplah sebuah rencana. Maafkan aku, Dit. Ini semua demi kamu, aku, dan hubungan kita di masa lalu."

***

Apa yang diucapkan Irish tadi pagi benar adanya. Sekarang, tidak ada lagi yang mencaci, dan makinya. Bahkan dari bangku Kara pun hanya tas yang tergeletak tanpa sang pemilik.

Adit mengernyitkan dahinya. Tidak biasa, Kara tidak ada di kelas, tetapi tasnya berada di bangkunya. Aneh, tapi biarlah. Adit memilih untuk tak peduli dengan perempuan ular seperti Kara.

Adit bergegas keluar saat bel istirahat sudah berkumandang. Dia berjalan menuju taman belakang sekolah. Menepati permintaan yang diajukan Irish tadi pagi. Tetap dengan membawa sekotak makan, Adit berjalan, melewati orang-orang yang dulu sering menghujat, dan sekarang tiba-tiba bungkam, tanpa suara sedikit pun.

"Apa mungkin ini sebuah awal dari kebahagiaan?" Adit mengedikkan bahu acuh. Lalu, kembali berpacu dengan langkah lebih cepat dari sebelumnya.

***

"Lama banget, sih. Gue sudah nunggu berjam-jam sampai jamuran, lho."

Adit baru saja menghampiri Irish. Lelaki berkaca mata itu tertawa kecil menimpali gerutuan Irish.

"Bel istirahat baru berbunyi kurang dari sepuluh menit yang lalu. Jadi, bagaimana bisa kamu menunggu aku sampai berjam-jam? Oh, ya, bagian mana yang berjamur?"

Irish mencebik kesal. "Gue nunggu di sini dari bel masuk sekolah tahu! Iya, nih, hati gue jamuran."

Adit tertawa untuk kedua kalinya. Lelaki itu menghela napas pelan lalu menyahut, "Kamu nyuruh aku untuk datang ke sini saat jam istirahat. Jadi, kalau kamu tunggu aku dari bel masuk tadi, ya berarti bukan salahku, dong."

Irish bersedekap dada. Bibirnya mengerucut menyerupai bibir seekor bebek. Kemudian, gadis itu membuang muka ke sembarang arah.

"Dit, biasanya tuh cewek yang selalu benar. Kok, gue malah berasa lo yang kayak cewek, ya?" tanya Irish tanpa ingin memandang Adit.

"Kalau nanya atau bicara sama orang, tuh, ya dilihat lawan bicaranya. Aku tahu kalau aku itu tampan, tapi jangan sok malu-malu kucing gitu, dong." Ucapan yang dilontarkan oleh Adit langsung dihadiahi oleh pukulan cukup keras di lengan kiri Adit. Pelaku dari pemukul itu pun hanya mencebik kesal.

"Adit nggak asik banget," cibir Irish.

"Ya, sudah, aku minta maaf. Kapan makan, nih? Perutku sudah lapar," ujar Adit yang membuat Irish mengulas senyum.

"Ayo, sekarang! pokoknya nanti makanannya harus dihabisin, ya!"

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang