1. Sekolah

26 2 0
                                    

Seorang lelaki berseragam sma lengkap itu melangkahkan kaki,  menelusuri lorong-lorong sekolah. Setiap lorong yang ia jejaki, tidak pernah sulut suara-suara mengejek, dan mencaci maki dirinya.

Dia, Adit. Lelaki yang senantiasa memakai kaca mata tebal. Baju, dan celana yang kebesaran. Sepatu yang sudah setahun setengah belum diganti.

Penampilan Adit yang seperti inilah menjadi bulan-bulanan para warga sekolah yang suka mencaci maki bahkan membully. Mereka menjadikan Adit sebagai bahan candaan, dan suruhan. Adit yang malang, tetapi dipaksa diam karena tak punya kuasa lebih.

"Adit!"

Suara teriakan perempuan memanggilnya. Adit menghentikan langkah. Tubuhnya berbalik ke belakang, menghadap perempuan yang berlari menghampirinya.

Adit menunduk. Tidak berani membalas tatapan perempuan yang memakai seragam urak-urakan. Perempuan yang bernama Kara.

"Kalau gue panggil, tuh, nyahut!" Kara menarik  kasar rambut Adit. Perempuan itu membuat wajah, dan tatapan Adit beralih ke arahnya.

Senyuman yang di dalamnya seringaian licik itu pun tertampil di raut wajah Kara. Tubuh Adit gemetar. Lelaki itu ingin kembali menunduk, tetapi sayang sekali pergerakannya bisa dibaca oleh Kara. Kara menahan Adit dengan beralih mencengkram dagu lelaki itu.

"Mau nunduk lo? Nyari duit receh?" tanya Kara dengan nada mengejek.

Adit membenarkan kaca mata yang melonggar.

"Ka-kamu mau a-apa?"

Kara tertawa. Tawa yang membahana, membuat orang-orang di sekitarnya langsung mengerumuni dua orang berlawanan jenis itu; Kara, dan Adit.

Kara melepaskan cengkraman kemudian bersedekap dada. Perempuan itu menatap tajam Adit. Tatapan yang tidak ingin Adit lihat.

Melihat tatapan itu sama seperti tatapan pria yang selalu menyakitinya. Tatapan yang selalu dibenci Adit.

"A-aku mau pergi," ujar Adit lalu berniat ingin beranjak pergi menjauhi Kara, dan kerumunan yang dibuat oleh perempuan itu sendiri.

"Eits!" Kara menahan lengan Adit. Dari pegangan berubah menjadi cengkraman kuat.

Terpaksa Adit mengurungkan niatnya. Ia tetap berdiri di hadapan Kara. Tatapannya kini sudah beralih kembali ke lantai. Kepalanya menunduk. Tidak mau berhadapan dengan perempuan yang sering disapa: Beauty Devil.

"Le-lepasin." Adit meminta dengan tubuh yang masih bergetar hebat.

"Lebay banget jadi cowok," hina Kara.

Ia melepas cengkraman di tangan Adit. Lalu menjentik-jentikan jemari tangannya seolah-olah Kara baru saja memegang benda najis.

Kara kembali tertawa. Menertawakan tubuh Adit yang tidak berhenti bergetar.

"Gue nggak gigit, Dit!" kesalnya.

Adit semakin menundukkan kepalanya. Tangannya ia kepalkan ke tali ransel.

Kara tersenyum. Perempuan itu mendekat ke arah Adit. Saat wajahnya tepat di dekat telinga kanan Adit.

"Kapan kamu kembali?" bisik Kara bertanya.

Usai itu, Kara melenggang pergi. Meninggalkan Adit yang termangu. Terkejut dengan bisikan Kara. Suara Kara yang lirih seperti suara dari seorang yang dulu sangat dekat dengan Adit.

Adit menggelengkan kepalanya. Berusaha menepis jika Kara itu bukan perempuan yang dulu dekatnya. Kara berbeda dengan dia. Dia yang lembut tidak akan mungkin berubah menjadi seorang Kara yang sering mencaci, dan maki Adit.

Adit menghela napas. Kemudian, melesat pergi menjauh dari kerumunan. Di setiap langkahnya lagi, ia mendapatkan berbagai sorakan yang menyakiti hati. Sorakan dari orang-orang yang tidak peduli dengan hati yang sudah lama terluka.

***

Bel istirahat memberikan tanda jika jam istirahat sudah tiba. Usai belajar beberapa jam lalu, banyak murid yang harus mengisi  kembali energi tubuhnya. Termasuk dengan murid lelaki yang duduk di pojok belakang kelas.

Adit membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Kemudian memasukkannya ke dalam tas. Lelaki itu menatap teman-teman kelasnya yang berhamburan keluar. Pergi tanpa berniat mengajak Adit ikut bersama mereka.

Adit tersenyum tipis. Lantas bangkit berdiri, dan mulai menjejakkan kaki di lantai. Melangkah santai menuju kantin. Tempat pengisian energi yang terbuang karena terlalu banyak berpikir saat belajar di kelas beberapa jam lalu.

"Eh, culun!"

"Sini, culun!"

"Tempatnya seorang Adhitama Sabian itu bukan di sini, tapi di koljem alias kolom jembatan!"

"Sampah masih aja ada di sini."

"Huu ... sampah."

"Enyah dari sini, woy!"

Semua itu tertangkap jelas di indera pendengaran Adit. Lelaki itu menundukkan kepalanya. Mengabaikan semua sorakan buruk yang selalu tertuju kepadanya.

Adit terus memacu langkahnya. Lebih cepat dari sebelumnya. Ia lelah harus bersekolah di keadaan seperti ini. Mengadu kepada guru pun tidak ada gunannya. Banyak pengurus sekolah tertutup matanya dengan uang-uang yang diberikan oleh para keluarga kaya yang memiliki anak seorang pembully.

Adit memasuki area kantin. Sorakan kembali terdengar. Sorakan yang memekakkan telinga. Menghunus tajam relung hati. Menusuk hati hingga terbelah, bahkan nyaris terpecah, dan hancur.

Namun, dari banyaknya suara sorakan. Satu hal yang paling tidak disukai Adit di kantin. Perlahan, secara bersamaan, beberapa orang melemparkan berbagai bungkusan makanan ke arahnya.

Adit berhenti. Dia berdiri tegap. Tubuhnya menerima banyak sampah yang dilemparkan oleh mereka. Tidak luput sorakan-sorakan merendahkan tertuju terus menerus ke arahnya.

Adit menghela napas. Berusaha sabar, dan acuh atas perbuatan dari orang-orang di sekitarnya. Namun, Adit tak lagi berselera makan. Lelaki itu memilih untuk pergi dari kantin.

***

Adit memasuki toilet. Ia menatap tubuhnya yang terpaksa kotor dari pantulan cermin di salah satu sisi dinding toilet.

Adit menciumi beberapa bagian tubuhnya. Hidungnya berjengkit, tidak mau menerima bau sampah-sampah yang melekat di tubuhnya.

"Lagi, dan lagi."

Adit mengambil satu per satu sampah yang menjangkiti tubuhnya. Tanpa sedikit pun rasa jijik, Adit mengumpulkan sampah-sampah itu lalu membuangnya.

Adit masuk ke salah satu bilik toilet. Ia membersihkan tubuhnya. Meskipun tidak sebersih di rumah, tetapi lebih baik dari sebelumnya. Dari usai ia dilemparkan berbagai macam sampah.

Adit merosotkan tubuhnya ke lantai kering di toilet. Punggungnya bersandar di dinding.

Adit menatap ke atas. Tak lama, ia memejamkan matanya. Berusaha menerawang bagaimana keadaan hidupnya esok hari. Namun, tetap semua. Gelap, dan hitam.

Adit membuka matanya. Tangannya terkepal kuat. Matanya memerah, menahan air mata yang nyaris terjatuh dari pelupuk mata.

Adit terkekeh miris.

'Aku lelah, Tuhan."

***

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang