6. Karena Kara

10 1 0
                                    

Adit belajar malam ini. Satu tindakan yang selama ini paling malas ia lakukan. Terlebih harus belajar dengan rentetan rumus berangka yang memusingkan saat baru dibaca.

Adit menghela napas pelan. Tatapannya beralih ke jam dinding yang telah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Berselang beberapa detik, Adit kembali beralih melihat rumus yang nyatanya sama sekali belum pernah ia pahami.

"Kalau aku gini terus yang ada aku jadi gila," gerutu Adit.

"Aku nggak suka matematika, tapi ... karena Kara, aku harus kalah. Sial, dia emang perempuan ular."

"Bu Dina juga ... agh! Gatau, lah! Aku pusing!" sergah Adit lalu memporak-porandakan buku-buku yang bertebaran di meja belajar.

Tok ... tok ... tok ...

Suara ketukan pintu mengalihkan rasa kesal Adit. Adit menatap sekilas pintu kamarnya lalu beranjak membuka pintu.

"Apa iya Ayah yang ketuk pintu?" gumam Adit bertanya.

Dia membuka pintu kamarnya. Adit langsung menundukan kepalanya. Saat ternyata Bimo sudah berada di hadapannya.

"Lampu kamarmu tidak dimatikan? Kamu tahu, biaya listrik zaman sekarang ini mahal," ucap Bimo dengan intonasi rendah, tetapi mampu mengintimidasi Adit.

Adit menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. "Maaf, Ayah. Adit lagi belajar matematika. Dua hari lagi, ada penilaian mingguan matematika. Adit harus dapat nilai A."

Tatapan Bimo yang semula garang berubah melunak. Pria itu tidak jadi marah karena alasan yang dibeberkan Adit. Bimo mengelus rambut Adit kemudian berkata, "belajar yang benar. Jangan sampai kamu malu-maluin saya karena nilai kamu yang selalu turun seperti sebelum-sebelumnya. Kamu tahu? Anak dari para relasi teman bisnis saya semuanya pintar, dan berbakat. Bahkan banyak diantara mereka yang sudah menjuarai di berbagai bidang olimpiade hingga tingkat internasional. Mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Sedangkan kamu? Selalu saja membolos sekolah, dan terus melakukan apa yang kamu mau sendiri. Padahal apa yang kamu lakukan itu sama sekali tak penting untuk hidup di masa depan."

Bimo menarik kembali tangannya. Pria itu tersenyum tipis. "Belajar sampai kamu paham dengan rumus-rumusnya. Jika kamu belum paham juga, jangan pernah biarkan rasa kantukmu itu mengganggumu. Bila perlu juga kamu harus belajar sampai matahari kembali terbit."

"Saya pamit ke kamar dulu. Kalau kamu sudah dapat ilmu, kamu boleh tidur, dan jangan lupa matikan lampu kamar."

Usai mengatakan berbagai rentetan kalimat petuah kepada Adit, Bimo berlalu pergi. Meninggalkan Adit yang masih menunduk dengan tangan yang terkepal kuat.

Adit menghela napas pelan. Lelaki itu menengadahkan kepalanya, lalu secarik senyum miris tertarik dari raut wajahnya.

"Aku kira Ayah khawatir dengan keadaanku. Seenggaknya beri semangat atas tindakanku sekarang ini. Namun, nyatanya hanya karena harga diri yang takut dipermalukan."

Adi tahu, dia terlalu banyak meminta. Adit tahu, dia terlalu banyak berharap. Adit tahu, dia terlalu banyak kesalahan. Namun, salahkah Adit jika sedikit membangkang perintah Ayahnya?

"Ayah ... Adit lelah."

***

Pagi-pagi sekali, Adit sudah berada di dalam kelas. Tumpukan buku turut menghiasi meja miliknya. Matanya panas, tetapi ia tetap urung untuk beranjak pergi dari situ..

Suasana kelas sepi tergantikan dengan suasana ramai usai beberapa waktu berlalu. Adit menghela napas pelan saat mendengar suara yang amat ia kenali.

Adit menengadahkan kepalanya. Menatap penuh benci ke arah Kara yang dengan santainya sedang mengobrol dengan teman-temannya.

"Hai, Adit." Kara menghampiri Adit, membuat Adit membuang muka ke arah berlawanan.

"Gimana belajarnya? Sukses atau nggak? Makanya anak bodoh kayak lo jangan deh banyak tingkah! Bisa-bisanya mau ngejebak gue, eh ... dia duluan yang kejebak. Kasian, deh, senjata makan tuan," ejek Kara.

Adit tetap diam. Ia berusaha fokus dengan materi yang ada di dalam buku. Materi yang sebenarnya sangat ingin dijauhi oleh Adit, karena mengandung berbagai macam angka yang memusingkan.

"Dit, lo tuli atau bisu? Eh, ups!"  Satu tangan Kara menutup mulutnya sendiri. Kara menarik kembali tangannya, lalu tertawa dengan puas.

Dia melangkah pergi dengan lambaian tangan ke arah Adit. "Semoga berhasil, beban keluarga!"

Adit menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dalam satu tarikan. Dia mengangkat tipis senyum sinis di dua sudut bibir.

"Kara, suatu saat lo bakal tahu bagaimana rasanya jadi gue. Bagaimana rasanya jadi anak yang lelah, tetapi dipaksa untuk terus maju. Kara, karma pasti berlaku."

***

Lain dengan Adit yang masih berusaha keras memahami segala persoalan rumus matematika, Kara saat ini sedang menikmati santapan paginya.

Gadis itu tidak sendiri di kantin. Ia bersama dua teman akrab yang bernama Sisy, dan Lily. Nama kedua teman Kara memang nyaris kembar, karena rupa mereka bahkan kembar persis. Maklum, Sisy, dan Lily adalah anak kembar beda lima menit.

Sisy terus berbicara tanpa henti. Begitu juga dengan Lily yang terus menimpal. Berbeda dengan Kara yang pikirannya sudah melayang pergi.

"Kara!"

Kara tersentak terkejut. Dia keluar dari zona lamuman, lalu tatapan kesal tertuju kepada Lily yang tiba-tiba memanggilnya.

Tahu ditatap kesal, Lily mengangkat dua jari tangannya lalu menyengir lebar. "Ya maaf, Kar. Habisnya lo ngelamun terus.'

"Mikirin apa, sih, Kar?" timpal Sisy bertanya.

Kara menggeleng pelan. Dia menatap ke sembarang arah, lalu diam-diam menghela napas sejenak.

"Maafin aku, Tam."

***

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang