15. Bram, dan dendam.

9 2 0
                                    

Adit berjalan di jalanan sepi. Ia baru saja mengantarkan Irish ke rumah gadis itu. Meskipun tetap dengan jalan kaki, tetapi banyak cerita yang tersaji di setiap langkah yang terus terlewati.

Tiba-tiba tubuh Adit terhentak oleh satu tangan. Tubuh lelaki itu bahkan tersungkur jatuh ke hamparan tanah. Si pelaku tertawa sinis.

Adit mengepalkan kedua tangannya erat. Ia menggeram pelan, saat dapat mengetahui suara tawa yang baru saja terlontar.

Adit bangkit berdiri. Dia menatap tajam orang yang berdiri dengan tangan yang berkacak pinggang di hadapannya.

"Apa maksud lo?" tanya Adit, mendesis.

"Kenapa? Mau marah lo?"

Adit membuang napas marah. "Iya!"

Orang itu tertawa. Kemudian satu tangan mendarat ke bahu kanan Adit untuk menonjok pelan bahu Adit.

"Bocah ingusan kayak lo bisa apa?"

"Ngaca!" Adit menggertak marah. "Lo masih seumuran sama gue. Nggak usah sok gede!"

"Dih, gue seumuran sama lo? Mimpi!"

"Mau lo apa, Bram?" tanya Adit dengan nada tenang, meski nadanya menyimpan beribu amarah.

"Bunuh lo, Dit."

"Kenapa lo mau bunuh gue setelah lo bunuh nyokap gue, hah?" tanya Adit seraya menatap sengit lelaki di hadapannya, Bram.

Bram Mahardika. Nama lengkap dari seorang lelaki yang tak lebih dari sekadar pengecut. Bram dahulu adalah teman baik Adit, namun sekarang, Adit tak lagi sudi. Sampai mati pun, Adit tak ingin berbaikkan dengan Bram. Sebab Bram lah yang membunuh ibunya lima tahun lalu.

"Bram, kamu jangan gila!"

Bram tertawa sinis mendengar seruan takut dari Adit. Dia tetap berjalan, mendekati Adit yang terus melangkah mundur. Satu tangannya menggenggam erat pisau bermata tajam. Pisau itu kemudian menodong tepat sejajar di dada Adit.

"Kenapa? Kenapa harus aku gila, Dit? Bukannya kamu yang gila, ya?"

"Apa maksudmu, Bram?"

"Kamu nikung aku, Adit! Dasar penjilat ludah sendiri. Kata kamu, nggak akan nikung aku, tapi
..." Bram menghentikan suaranya. Dia membuang napas kesal. "Aku benci kamu, Dit!"

Lalu tangan Bram semakin mendekati dada Adit. Semakin Bram maju, semakin Adit memundurkan langkah kakinya. Hingga nasib baik tak berpihak pada Adit. Adit terpojok di dinding. Bram menyeringai lebar.

"Kamu bakal habis sama aku, Dit."

"Jangan gila kamu, Bram. Kita masih kelas enam SD. Bahkan aku nggak pernah sekali pun nikung kamu dari belakang."

"Pembohomg!" desis Bram lalu melangkahkan kaki maju, hingga jarak antara dirinya, dan Adit tinggal beberapa jengkal saja.

Tangan Bram gemetar. Namun, tetap tak mengurungkan niatnya untuk menusuk dada Adit agar teman yang dianggap menikungnya itu segera mati.

"Selamat mati, Adit!"

"Aaaa!"

"Ibu!"

Kejadiannya begitu cepat. Bukan Adit yang tertusuk pisau dari genggaman Bram. Melainkan Alya, ibu Adit yang tertancap pisau di bagian punggungnya. Demi menyelamatkan sang anak, Alya harus merelakan nyawanya.

Adit membawa kepala Alya untuk di pangkuannya. Anak lelaki 12 tahun itu menangis. Memeluk tubuh Alya yang lemah, bahkan darah terus keluar dari punggung ibu anak satu itu.

Tatapan Adit beralih ke arah Bram. Bram yang kemudian melemparkan pisau jauh dari mereka. Lalu melenggang pergi dengan raut panik. Meninggalkan Adit yang mengepalkan tangannya erat-erat.

"Aku akan membalas ini, Bram."

"Seharusnya lo yang mati, Dit. Bukan ibu lo. Ibu lo yang terlalu bodoh menyelamatkan anaknya yang suka nikung cewek ini!"

Satu hantaman keras didapatkan Bram, hingga korban sendiri tersungkur jatuh ke tanah. Pelakunya adalah Adit. Menatap Bram dengan senyum mengejek.

"Segitu aja kemampuan lo, Bram?"

"Kurang ajar!" geram Bram lalu bangkit berdiri. Kemudian, membalas tonjokan yang ia peroleh dari seorang lelaki bernama Adhitama Sabian.

Perkelahian sengit antara dua teman yang menjadi musuh tak tereelakkan lagi. Mereka saling menghantam satu sama lain dengan perasaan penuh benci, dan dendam. Bram yang benci, dan dendam kepada Adit, karena perihal pernah ditikung saat kelas 6 SD. Lain dengan alasan Bram yang terlihat sangat kekanak-kanakkan, Adit justru membenci, dan menyimpan banyak dendam untuk Bram, karena Bram telah membunuh ibu-nya. Ralat, bukan hanya membunuh Alya saja, tetapi Bram juga membunuh semua kebahagiaan yang saat itu selalu didapatkan Adit.

Dua-duanya seri. Mereka akhirnya terjatuh ke hamparan tanah. Dengan luka-luka memar yang menghiasi penuh wajah mereka.

Adit tetap gigih tak memperlihatkan raut kesakitannya. Berbeda dengan Bram yang tak sekali dua kali, tetapi berulang kali meringis kesakitan.

Adit bangkit berdiri. Menarik kerah baju Bram untuk Bram ikut bangkit berdiri dengan amat terpaksa.

"Segitu aja kemampuan lo, Bram? Bram, gue bukan bocah kelas enam SD lagi yang bisa-bisanya lo ancam dengan membunuh. Bahkan setelah perkelahian tadi, lo kelihatan kesakitan. Sedangkan gue? Lihat mata gue, Bram!" Adit mencengkram erat dagu Bram. "Gue nggak ada rasa sakit yang terlihat dari raut wajah gue."

"Lo tahu kenapa?" imbuh Adit bertanya.

"Lo tahu kenapa?!" Adit mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.

"Ke-kenapa?"

"Karena lo, Bram! Semua rasa yang ada di muka bumi ini sudah nggak berarti bagi gue. Hidup gue hambar semenjak cowok pengecut ini membunuh ibu gue. Satu-satunya pancaran kebahagiaan gue!"

Adit mendorong tubuh Bram, hingga Bram terhempas jatuh. Kemudian, Adit melenggang pergi. Meninggalkan Bram sendiri seperti apa yang dahulu Bram lakukan kepadanya saat Bram selesai menancapkan pisau ke perut Ibu Adit.

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang