Dipermainkan takdir, boleh kah aku menyebutnya begitu? Atau aku lebih pantas menyebutnya masa lalu yang belum usai?
Pernah tidak kalian ada diposisi semakin ingin melupakan semakin bayangannya hadir. Padahal sebelumnya tidak seintens sekarang.
Bayangkan sudah dua bulan aku berusaha melupakan semuanya yang ada, nyatanya malah kilatan masa lalu itu berputar layaknya seperti film dikepalaku.
Berhubung aku tak ingin kejadian menyakiti diri sendiri terjadi lagi, maka ku putuskan untuk mendatangi mbak rara, guruku dalam hidup.
"Assalamualaikum mbak" teriakku ketika aku sudah didepan rumahnya.
"Waalaikumsalam. Wah tumben ae dateng pas pagi pagi begini. Mira mana? Kok sendirian" tanya mbak rara yang melihatku datang sendiri.
Aku memang bisa dibilang jarang datang sendiri ke rumah mbak rara alasannya karena aku memang jarang bisa membangun kominikasi yang selayaknya dengan orang lain saat hanya berduaan, makanya aku selalu mengajak namira kalau bermain ke rumah mbak rara.
Tapi hari ini aku berlaku tak biasanya. Mungkin mbak rara saat ini mulai menyadarinya. Aku memang sengaja karena aku ingin menceritakan masalahku pada mbak rara.
"Mira jaga toko mbak. Aku mau main sama zain aja kok mbak" mbak rara hanya tersenyum mendengar alasanku lalu mengajakku masuk kedalam rumah.
Aku memilih untuk datang pagi juga karena kalau pagi rumah mbak rara tak seramai saat siang atau sore. Suami mbak rara, mas abdul merupakan dosen agama di salah satu universitas islam dikota ini. Predikatnya yang memang menjadi jebolan universitas ternama di mesir membuatnya tidak diragukan lagi.
"Assalamualaikum zain. Tante ae dateng loh. Duh kamu baru dua bulan udah segede gini aja" aku menoel pipinya dengan gemas. Pipinya jauh diatas rata rata anak seumurannya, mungkin karena mbak rara full asi kali ya jadinya begini. Mungkin ya mungkin.
Aku memang punya pengalaman merawat bayi tapi melihat bayi sumo yang sebesar pipi zain ini merupakan hal baru bagiku.
"Minum ae, gimana?"
"Gimana apanya mbak?" Aku sebenarnya tau kearah mana obrolan yang coba mbak rara bangun hanya saja aku tak tau harus bercerita dari mana.
"Hatimu kan?" Ahh iya aku lupa memberi tahu kalian, salah satu sebutanku pada mbak rara yaitu cenayang.
Kenapa aku menyebutnya begitu? Karena memang kadang tebakannya pas hanya dengan melihat mata kita. Tapi salutnya mbak rara tak pernah sekalipun memaksa kita untuk bercerita apabila kita tak ingin. Itulah yang membuatku nyaman bercerita dengannya.
"Hatiku? Baik kok mbak hanya saja..."
"Hanya saja sedang berfikir?"
"Mbak rara selalu gak bisa dibohongin"
"Kamu ada niat bohongin mbak?"
"Mbakk..." Rengekku pada mbak rara sampai membuat zain terkaget.
"Mbak boleh gak sih ae lari lagi? Rasanya tujuh tahun ini usaha ae sia sia kalau ujung ujungnya akan bertemu lagi" lanjutku memulai menceritakan kegundahan hatiku.
"Kamu ketemu napier?" Aku melotot ketika mbak rara dengan entengnya menyebut nama yang ku hindari.
"Malah disebut namanya. Jengkel deh. Bukan, bukan orang itu yang ae temuin tapi mama ambar, eh salah tante ambar"
"Ohh mbak kira napier. Ya bagus dong ketemu sama tante ambar jadi bisa silaturahmi. Cerai kan bukan berarti harus berhubungan buruk ae"
"Tapi ae gak bisa mbak. Makanya ae pingin pergi rasanya" ujarku frustasi.
Mbak rara tersenyum sambil tangannya mulai mengekus kepalaku yang tertutup dengan hijab "kamu gak bisa karena kamu belum mencoba ae. Mau sampai kapan kamu harus lari? Bukankan dulu kamu sudah pernah lari? Apa yang kamu dapat waktu kamu lari dulu? Apa keadaanmu membaik setelah kamu lari?"
Aku menunduk mendengar penuturan mbak rara. Apa yang mbak rara katakan tak sepenuhnya salah. Saat dulu aku lari yang ku dapat hanya semakin menderita bukan sebaliknya.
"Coba ikhlaskan ae. Lihat dari sisi yang lain. obat itu pasti pait tapi menyembuhkan, bukan? Mulai berterima kasih dengan diri sendiri, bisa?"
Berterima kasih pada diri sendiri? Apa aku bisa? Bahkan mungkin lebih banyak menyalahkan diri ku sendiri daripada berterima kasih.
"Coba sesekali katakan pada diri mu, terima kasih sudah berjuang sejauh ini, kita hebat. Coba lakukan itu. Kalau sampai kamu sudah dititik itu dan tak ada perubahan yang terjadi, berarti itu tanda kamu belum berjuang sampai akhir. Ingat Allah tak akan membiarkan tangan yang kamu tadahkan tidak terisi oleh apapun. Janji Allah itu pasti ae"
Isakan ku mulai keluar. Aku merasa bahwa selama ini aku terlalu jahat pada diriku sendiri. Tapi tak urung aku juga menyayangkan atas semua yang terjadi, andai saja saat itu....
"Jangan berandai andai ae. Itu akan membuatmu makin menyesali semua. Kamu hidup bukan untuk masa lalu ae, kamu harus hidup untuk sekarang. Mau sekuat apa kamu menyesali masa lalumu itu semua gak akan berubah ae, tapi kamu bisa berusaha agar kelak dimasa depan kamu tidak pernah menyesali keadaan saat ini"
Tangisku sudah tak bisa lagi ku tahan. Aku sampai tak sadar sejak kapan aku berada dipelukan mbak rara "terima kasih aeri bilqis izma sudah kuat, sudah berjuang sejauh ini. Kamu hebat. Kamu kuat. Terima semuanya ya, kamu pasti bisa" bisikan mbak rara tepat ditelingaku semakin membuatku tergugu.
Aku baru bisa mengendalikan diriku setengah jam setelahnya "mbak makasih ya. Mbak selalu ada buat ae. Ae gak bayangin kalau gak ada mbak rara gimana"
"Terima kasihnya nanti sama Allah ya. Kan Allah yang bikin kita ketemu ae. Udah ah jangan nangis nangis lagi makan aja yuk. Mbak masak soto ayam, mau gak?".
"Mau dong, masakan mbak kan gak ada duanya jadi gak boleh dilewatin dong".
"Mbak jadi iri sama kamu kalau sudah nyangkut makanan itu ae. Kamu mau makan sebanyak apa yang gemuk cuma pipimu aja la mbak, kayaknya minum air putih aja langsung naik ini bobot. Hahaha".
Ku tanggapi ucapan mbak rara dengan lelucon juga sampai akhirnya aku pamit undur diri.
"Ae, mari kita mulai menerima semuanya ya. Terima kasih. Kamu pasti bisa!" Gunamku dalam hati
.
.
.
20052021
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Mimpi - End
Romancekesalahan kita dulu pernah membuatku bermimpi indah tapi itu tak bertahan lama.. dan sekarang, tiba tiba kamu datang menawarkan mimpi serupa?