TSM 2

3.8K 320 8
                                    

"ae kenapa sih? Dari tadi kayaknya gak konsen gitu?" Namira menyenggolku sambil mulai mengomel.

Aku sedikit tidak sadar bahwa aku telah melamun. Banyak yang aku pikirkan sampai aku tidak bisa bekerja dengan baik.

Mungkin semenjak kejadian sebulan lalu yang mempertemukan aku dengan tante ambar, sejak saat itu juga mulai bermimpi lagi tentang kejadian masa laluku.

Bahkan ibu ku yang semenjak meninggal tidak pernah mendatangiku walau hanya dimimpi tiba tiba beberapa hari lalu mendadak menyapaku dan memelukku walau hanya fatamorgana.

Tapi ada satu mimpi yang membuatku amat sesak dan itu yang menyebabkan aku oleng akhir akhir ini.

"Ibu harus senyum" anak kecil menggenggam tanganku sambil tersenyum. Bocah laki laki yang ku taksir umurnya enam atau tujuh tahun.

Semakin besar kilatan kenangan dengan khalif terekam jelas akibat mimpi itu.

"Ae, aku tuh lagi ngomong sama kamu. Kamu sakit? Kalau kamu sakit pulang aja tapi kalau kamu..."

"Aku gak papa cuma tadi tiba tiba kangen ibu" aku sengaja memotong omongan namira agar ia tidak curiga aku memikirkan yang sudah sudah.

Aku dan namira sudah berteman lebih dari enam tahun lamanya. Aku bertemu dengannya saat aku memutuskan untuk keluar dari rumah tante ambar.

Ahh, aku tidak hanya bertemu dengannya. Aku juga bertemu dengan satu sosok lagi mbak rara, yang sudah ku anggap seperti kakakku sendiri.

Hanya sedikit memang aku membuka pertemanan dengan orang lain. Aku memang kurang bisa bersosialisai apalagi semenjak kejadian itu.

Kalian pasti tanya apa kejadian dimasa laluku kan? Aku akan menceritakannya tapi tidak sekarang ya, saat aku siap.

Kisah hidupku bukan kisah seperti si cantik dan buruk rupa atau mungkin si miskin dan si kaya. Bukan. Kisahku lebih mirip kisah perjuangan. Hahaha. Karena lawanku bukan hanya orang lain tapi diriku sendiri.

Aku pernah ada dititik terendah dalam hidupku. Sampai terbesit keinginan menyakiti diri sendiri dan hampir bunih diri kalau saja waktu itu tiba tiba ada tangisan yang mengangetkanku.

Miris ya?

Bayangkan saja saat aku mengalami semua ujian hidupku umurku masih sangat muda. Masih delapan belas tahun, masih labil.

Saat itu aku berfikir Allah itu tidak sayang padaku dengan memberiku ujian yang menurutku tak bisa aku lalui. Aku seakan lupa bahwa di luar sana banyak orang yang mungkin diberi ujian lebih dari ku.

Katanya, setiap ujian yang kita jalani saat ini merupakan test untuk menguji layaknya kita untuk naik kelas tapi saat itu aku tak merasakan aku sudah naik kelas. Yang ada aku merasakan ujian bertubi tubi bahkan tanpa jeda.

Untung saja yang menciptakan tubuhku bukan manusia tapi Allah. Mungkin kalau buatan manusia tubuh ini sudah angus sebelum waktunya diservice. Mungkin air mataku juga habis saking seringnya aku menangis.

"Kamu mau ke makamnya nanti? Kita bisa tutup lebih awal kalau kamu mau" aku bersyukur sudah dipertemukan namira. Ia cukup mengerti walau kadang aku tak menjelaskannya.

Kami menjalankan bisnis bersama yaitu mendirikan toko bunga di jalanan dekat tempat kostku.

Toko itu ku beli dari hasil menjual rumah orang tuaku. Semenjak ibu meninggal rumah kami menjadi sunyi dan itu cukup membuatku tak nyaman. Jadi aku lebih memilih untuk menjualnya dan membeli toko ini.

Memang keuntungan dari bisnis kami tak banyak tapi sekiranya cukup kami berdua hidup. Bahkan aku bisa dengan bangga mengatakan "walau hanya pedagang bunga tapi kami lulusan sarjana".

Ting... Ting... Ting...

Bunyi lonceng yang sengaja aku gantung dikaca toko itu berbunyi sebagai tanda bahwa ada orang yang masuk atau keluar dari toko.

Namira yang berada disisiku langsung berdiri menyambut pelanggan yang datang sedangkan aku masih terpekur melihat buku pembukuan toko kami.

"Ada yang bisa dibantu kak?" Naminya menyapanya dengan ramah.

"Saya mau cari bunga untuk ulang tahun ibu saya. Bagusnya apa ya mbak?" Aku mendengarkan apa yang namira dan pelanggan itu bicarakan.

"Kalau saran saya lily putih kak. Lily putih melambangkan sesuatu yang suci. Seperti kasih ibu yang amat sangat suci Dam mulia" jelas namira.

"Oke deh mbak, saya ambil satu ya. Tolong dibungkus yang baik dan diberi ucapan yang indah"

"Siap kak. Untuk ucapannya apa tidak lebih baik kalau kakak bisa menulis sendiri ungkapan hati kakak? Kakak bisa menulis ditempat teman saya disana"

"Ohh gitu ya. Bener juga sih. Ya udah mbak, saya nulis sendiri aja"

"Iya kak. Silahkan ke teman saya disana kak. Saya bantu membungkus dulu ya" namira menyingkir dari hadapan pelanggan itu dan mulai bergerak ke meja yang memang kami khususkan untuk merangkai bunga.

Aku dibuat tak percaya dengan pandanganku, ah lebih tepatnya wanita yang ku tatap. Iya, pelangganku saat ini aku mengenalnya siapa.

Mencoba merapalkan doa agar penampilanku saat ini tak dapat ia kenali. Penampilan yang aku rasa jauh lebih baik dari dahulu kala.

"Mbak, saya mau nulis ucapan sama bayar, disini ya?"

Aku mengganggukan kepalaku sambil mengalihkan pandanganku ke arah mesin kasir "seratus ribu kak. Silahkan ini kertas ucapannya sama penanya".

Wanita itu menatapku aneh saat ia mulai mendengarkan suaraku. Tapi aku buru buru perpura pura sibuk dengan buku administrasi ku sehingga membuatnya mulai menulis.

"Sudah mbak. Ini" aku menerima kartu ucapannya dan mempersilahkannya duduk menunggu rangkaian bunga namira selesai.

Kartu ucapannya terbuka saat aku menaruhnya disebelah namira. Aku benar benar tidak sengaja melakukannya. Membuatku sedikit membaca isinya, yang menjadi sorotanku ternyata bunga itu untuk tante ambar.

Ahh.. aku ingat hari ini tante ambar berulang tahun tapi aku sama sekali tak mengingatnya, bahkan berapa tahun umurnya aku sudah lupa.

Rangkaian bunga lily yang cantik sudah selesai namira tuntaskan tapi saat akan memberikannya aku mendapat kejuatan lagi.

"Kamu bilqis kan? Ini aku, kak nara. Kamu gak inget kakak?"

"Ya?" Aku mulai berakting lupa ingatan didepan wanita itu, iya kak nara. Aku mengenalnya dulu tapi tidak untuk sekarang, aku tak ingin mengenalnya lagi.

"Kak nara, qis. Kakak hampir gak ngenalin kamu loh kalau kamu berhijab kayak gini. Dulu soalnya kamu kan suka pakai baju yang pendek kan?" Kak nara masih memastikan dugaannya padaku.

"Mungkin kakak salah orang" jawabku sekenanya agar ia cepat pergi dari sini.

"Enggak lah. Aku yakin kamu bilqis, mantan istrinya napier kan?"

.
.
.
20052021

Ini cerita baru makthor ya...
Jangan lupa singgah...

Lov ♥️

Tak Seindah Mimpi - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang