Aeri pov
"ini iqis? Anak mama ya?"
"Emm... Iya ma, eh tante. Apa kabar tante?"
"Ya Allah mama sampek gak ngenalin kamu loh qis. Tetep panggil mama ya. Apapun yang terjadi sama kalian, kamu tetep anak mama" aku meringis mendengar kata kata mantan mama mertuaku, bu ambar.
Tak berubah. Itu yang terlintas dikepalaku saat bertemu lagi dengan tante ambar. Hanya mungkin terlihat bertambah tua dan kurus saja badan tante ambar.
Aku merindukannya. Sungguh.
Sudah tujuh tahun dari kejadian itu tapi tak sedikitpun raut wajahnya menunjukkan amarah padaku. Padahal tak sedikit aku sudah membuatnya berderai air mata.
Aku memang bukan menantu yang baik.
Entah hatinya terbuat dari apa. Yang ku yakini hanya kasih sayangnya sebagai ibu tak diragukan lagi.
"Kok ngelamun? Iqis ngapain disini? Belanja?"
"Iya tante. Iqis lagi nyari kado buat temen" aku masih kaku saat harus mengganti panggilanku pada mama dengan sebutan tante.
Mungkin tante ambar masih menginginkanku memanggilnya seperti dulu, hanya saja buatku itu sedikit tidak nyaman karena memang hubunganku dengan anaknya sudah selesai.
Kami sudah bercerai. Cerai.
"Udah dapet belum kadonya? Kalau udah ayo makan siang bareng" ajaknya padaku
"Maaf tante. Tapi iqis ada kerjaan setelah ini. Maaf ya tante" aku mencoba membuat wajahku untuk terlihat menyesal sudah menolak ajakannya.
Bukan tanpa alasan aku menolaknya. Aku memang merindukannya tapi aku juga tidak ingin berhubungan dengan segala sesuatu yang menyangkut masa laluku itu.
Memang seharusnya aku tak berlaku buruk pada orang yang sudah baik, hanya saja orang baik ini mempunyai ikatan erat dengan "dia" yang sudah berlalu jadi aku tidak mau ambil resiko.
Selama ini aku sudah cukup berjuang untuk menghindari kepingan pecahan masa lalu itu agar hati ini tak lagi membencinya dan menyalahkan atas tindakan karena bagaimanapun aku juga manusia yang kadar sabar dan maaf ku bisa naik turun.
"Ya udah lain kali ya. Mama kangen sama khalif" aku mendesah pelan saat tante ambar menyebut nama itu. Sebisa mungkin ku tahan agar tak ada air mata ku yang jatuh didepannya.
Tak mampu menjawab dengan kata, hanya senyum tipis yang bisa ku suguhkan pada tante ambar. Padahal dalam hati berharap semoga tante ambar tak lagi membahas itu.
Mencari jalan pintas untuk segera pergi dari sini. Aku menyibukkan diriku untuk berkali kali melihat jam tangan yang menempel dipergelangan tanganku.
"Emm tante maaf tapi iqis harus sudah pergi. Tante sehat sehat ya. Assalamualaikum tante" ujarku sambil mencium tangannya dan berlalu setelahnya.
Jangan ingatkan aku tentang sopan santun ya, aku sadar kok bahwa apa yang aku lakukan memang tidak mencerminkan pribadi yang baik tapi aku memang harus segera meninggalkannya kalau aku tak ingin membuka luka lamaku.
Kejadian itu, malam itu berputar keras dikepalaku. Belum lagi akibatnya yang membuatku hampir menghilangkan nyawaku sendiri.
Aku sudah tidak peduli pandangan orang orang yang melihatku berlari ke arah luar dengan air mata yang terus mengalir dipipiku.
Yang ku butuhkan saat ini hanya pergi dari tempat ini. Itu saja.
Berapa lama aku berlari sampai tak ku hiraukan. Hingga sampai akhirnya aku berdiri didepan pintu yang memang ku butuhkan.
Dengan tergesa aku memasuki kamar kos yang selama ini aku jadikan tempat untuk sembunyi.
Ku lempar sembarangan tas yang tadi ku gendong lalu turut melempar tubuhku diatas kasur kecil yang hanya cukup untuk satu orang itu dan mulai menangis tersedu.
Hanya menangis membuatku bisa sedikit menghilangkan rasa sesak yang sedari tadi menyiksa. Aku tak bisa berbuat apa apa selain itu.
Hukuman. Mungkin itu yang sedang Allah lakukan padaku agar kelak di neraka aku tidak diberi ganjaran terlalu lama atas segala perbuatanku didunia ini.
Aku sadar betul apa yang ku lakukan salah. Apa yang terjadi salah. Apa yang kami lakukan keliru tapi aku bisa apa kalau semuanya sudah menjadi bubur?
Bukankan jalan terbaik hanya membuat bubur itu bisa dimakan? Entah memberinya tambahan lauk atau pelengkap lainnya. Iya kan?
Namun beberapa keras pun aku berusaha untuk membuat bubur itu layak dimakan tetap saja aku tak bisa karena memang aku tak pandai memasak, alhasil bubur itu hanya terlihat enak dimakan namun rasanya jauh dari harapan.
Hambar. Itu mungkin yang cukup mengambarkan situasi saat ini.
Hidup yang ku jalani saat ini tak ada bedanya dengan dengan televisi hitam putih. Tak ada warna lain selain itu.
Miris sekali bukan? Televisi jaman sekarang aja sudah canggih tapi aku masih begini saja.
Menangis sepuasnya dan berakhir tertidur lelap lalu bangun dengan pura pura lupa selalu menjadi kebiasaanku.
"Ae.. ae.. kamu didalem?" Suara ketokan pintu bersaman dengan suara namira, sahabatku mengusik tidurku "buka ae".
Dengan malas aku mulai bangkit dari kasur empukku "apaan sih mir. Aku baru tidur loh"
"Loh! Kamu nangis lagi? Kenapa? Jangan bilang kamu inget lagi!" Cecar namira padaku.
"Udah gak papa. Ada apa kamu kesini?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan agar ia tak mengungkit mataku yang bengkak ini.
"Loh kamu lupa? Bukannya kita mau ke rumah mbak rara ya? Kita kan udah janjian habis ashar kalau kita mau nengok bayinya mbak rara"
Astaga aku lupa. Aku bahkan lupa belum membeli apa apa untuk dijadikan buah tangan.
"Mir, aku lupa. Aku belum beli kadonya".
"Belum beli kado? Bukannya kamu tadi pergi ke mall ya?"
"Iya tapi..." Aku tak bisa melanjutkan kata kataku mana kala aku mengingat kejadian tadi.
"Kenapa? Apa yang terjadi di mall? Itu yang bikin kamu nangis lagi?" Namira mendesah kasar dengan wajah yang sudah sulit diartikan "sampai kapan ae. Kejadian itu sudah bertahun tahun ae dan kamu masih belum bisa menerima kenyataan?"
"Tapi aku jadi kayak gini karena dia kan mir!!" Emosi sudah mulai menyelimutiku.
"Dia siapa!! Coba kasih tau aku siapa dia itu? Kenapa diam saja. Bukannya kamu selalu menjadikan dia alasan atas sakitmu, kenapa gak bisa jawab?"
Aku mulai terisak lagi.
.
.
19052021Ini cerita baru makthor ya...
Jangan lupa mampir...Lov ♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Mimpi - End
Storie d'amorekesalahan kita dulu pernah membuatku bermimpi indah tapi itu tak bertahan lama.. dan sekarang, tiba tiba kamu datang menawarkan mimpi serupa?