TSM 12

3.1K 262 7
                                    

"ae fans kamu udah gak ngejar ngejar lagi ya? Kok kayaknya udah lama aku gak ngeliat batang hidungnya" ujar namira sambil menata bunga bunga yang baru saja datang.

"Bagus kan. Aku jadi bisa nemenin kamu jaga toko"

Memang sudah lebih dari sebulan kali orang itu tidak menampakkan batang hidungnya. Sepertinya ia sudah menyerah meminta ku untuk menceritakan tentang khalif.

Harusnya aku lega bukan mengetahui ia sudah tidak lagi mengganggu ku tapi entah kenapa sisi lain hati ku bertanya tanya apa ia baik baik saja, alasannya hanya karena aku terbiasa melihatnya beberapa bulan ini tapi bukan berarti aku menaruh hati dengannya ya.

"Gimana rasanya dideketin masa lalu?" Pertanyaan tak terduga dari namira cukup membuat ku terkejut namun secepat kilat aku mengganti raut wajah ku menjadi datar kembali.

"Biasa aja" ujar ku cuek.

"Gak keinget yang dulu dulu gitu?"

"Kenapa kamu jadi kepo sih?" Ucap ku tak suka.

"Ya kan cuma tanya aja kali aja jadi suka lagi kan?"

"Sapa yang bilang aku pernah suka orang itu? Lagian gak mungkin mir, dia belum menikah, hubungan kita kan udah berakhir lama. Aku pernah cerita dia punya sahabat cewek kan mir?" Namira mengganggukkan kepalanya tanda ia mengiyakan apa yang aku katakan "cewek itu manggil dia sayang loh. Gak mungkin kan kalau mereka gak ada hubungan spesial?"

Lagi. Namira menyetujui apa yang aku ucapkan "berarti dia udah bisa move on ae. Tinggal kamu yang belum"

"Kamu sok sok an ngingetin aku. Gak sadar diri kamu kalau kamu masih jomblo?" Sanggah ku cepat.

"Aku sudah nerima taaruf dari orang ae"

Aku terkejut bukan main mendengar jawaban namira. Rasanya banyak hal yang aku lewatkan karena kedatangan orang itu "iihhh kok gak cerita sih. Siapa siapa? Kasih tau mir..."

Ting... Ting... Ting...

Bunyi pintu toko terbuka mengalihkan perhatian ku dari namira.

Panjang umur. Baru saja aku dan namira membicarakan sahabat orang itu ternyata si empunya nama sudah berada didepan ku, lebih tepatnya berada didalam toko ku.

"Siang kak. Ada yang bisa dibantu?" Tanya ku mencoba ramah.

"Kakak perlu ngomong sama kamu, qis" ujarnya to the point.

"Iqis lagi kerja kak" aku mencoba memberi alasan logis untuk menghindari berinteraksi dengan kak nara. Aku tak ingin berhubungan dengannya terlalu dekat.

"Oke kakak langsung aja ke intinya. Tolong jauhi napier!" Raut wajahnya saat ini menunjukkan bahwa ia sedang marah.

"Iqis gak pernah ngedeketin orang itu ya kak. Lebih tepatnya orang itu yang dateng tiba tiba ke iqis!" Aku tak terima dituduh mendekati orang itu. Padahal jelas jelas orang itu yang mendekati ku lebih dulu walau dengan alasan ingin tau tentang kehidupan khalif.

"Napier kan hanya mau cerita tentang khalif tapi kamu malah ngenunda buat nyeritainnya kan? Itu strategi kamu buat ngedeketin dia lagi kan?"

"Sekarang kakak pikir mudah nyeritain kisah gimana khalif tumbuh sampai meninggal? Iqis pernah jadi ibu, kak dan itu cukup menjadi alasan kenapa iqis susah cerita semuanya!"

"Tapi gara gara kamu, napier akhirnya memutuskan pertunangan kita! Kamu sudah tak selugu dulu ternyata!"  Aku bisa melihat kilatan amarah di mata kak nara.

Eh tunggu tadi kak nara bilang apa? Pertunangan? Mereka belum menikah? Dan sekarang pertunangan mereka batal? Orang itu membatalkannya? Aku tidak salah dengar bukan?

"Kenapa kamu diem? Jangan bilang kamu sudah tau kalau pertunangan kita batal?"

"Iqis gak tau kak sumpah!"

"Jangan sok lugu qis!" Ujar kak nara lantang.

"Siapa yng pura pura lugu kak! Iqis bahkan gak tau kehidupan kalian. Dan sekarang kakak nuduh iqis yang ngehancurin pertunangan kalian gitu? Lelucon kakak gak lucu!" Amarah ku mulai terpancing mendengar tuduhan yang lagi lagi tak mendasar.

"Tapi kamu alasan napier memutuskan hubungan kita!"

.

Sudah lewat seminggu yang lalu sejak aku bertemu dengan kak nara. Tapi ucapannya saat itu masih terngiang ngiang dikepala ku.

Dituduh sebagai penghancur pertunangan mereka. Itu sama saja mengatakan bahwa orang itu menaruh hati pada ku bukan?
Atau aku yang kelewat percaya diri ya. Sampai sampai pikiran ku hanya tertuju pada fakta itu.

"Masih mikirin itu?"

Aku tergagap saat mendengar perkataan namira. Aku bahkan tak sadar aku sudah melamun sejak tadi.

"Sholat istiqoro qis. Tanya betul betul sama hati mu apa tak ada sedikit pun rasa untuk sang mantan?" Lanjut namira.

"Enggak ada mir" jawab ku ragu ragu.

"Kalau gak ad terus ngapain kamu masih kepikiran dia? Jangan mungkirin sinyal yang dikasih hati ae"

"Bagimana bisa aku hidup dengan orang yang sudah mengacaukan hidup ku" ujar ku sarkas.

"Siap yang ngomong kamu harus hidup sama dia?"

Skak mat! Aku termakan omongan ku sendiri. Aku sudah tak bisa menyangkal ataupun berkelit. Fakta aku masih memikirkannya memang benar adanya walau dalam konteks yang tidak baik.

Bukannya wajar kalau seandainya aku membencinya? Setelah apa yang terjadi padaku?

Waktu mungkin bisa menyembuhkan ku tapi tidak dengan memulihkan ku bukan? Aku mungkin bisa menjaga amarah ku didepannya tapi itu semua tidak bisa membuat ku sama seperti sebelum aku mengenalnya kan?  Ada bekas luka darinya yang tak bisa menghilang begitu saja.

"Saat itu kamu masih terlalu kecil untuk nerima masalah itu ae. Aku tau betul bahwa semua akan berdampak kedepannya untuk mu tapi kamu juga harus ingat bahwa kamu dapat khalif sebagai gantinya. Bukankah sudah sepadan?"

Aku terhenyak mendengar fakta yang namira lontarkan. Dalam hati aku bahkan membenarkan apa yang sahabat ku itu ucapkan.

Khalif. Hadiah terbesar yang aku dapat setelah kejadian buruk itu terjadi. Kenapa aku baru memikirkannya. Merasa hidup menyedihkan padahal hadiah terbaik sudah ku dapatkan dan aku tidak menyadarinya. Sungguh aku merugi.

Apakah aku memang harus benar benar berdamai dengannya untuk tau apa yang hati ku mau? Apakah istilah benci dan cinta hanya berbatas tipis dan kadang datang bersamaan sedang terjadi pada ku? Entahlah aku tak tau.

.
.
.
04062021

Tak Seindah Mimpi - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang