TSM 21

6K 249 6
                                    

Sejauh apapun aku pergi dan melarikan diri jika takdir ku adalah kamu, kita akan tetap bertemu dan kembali.

Aku lupa bahwa aku hanya aktor bukan pembuat skenario hidup. Aku lupa ada waktu yang selalu memaksa ku untuk tetap maju walau aku tak mau. Tugas ku hanya menjalani bukan bukan menentukan.

Aku tertampar keras oleh kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku hanya manusia.

Manusia.

Jangankan beda kota, beda pulau saja kalau seandainya sudah takdirnya bertemu pasti akan bertemu juga, apalagi aku yang tinggal dalam satu kota. Tak peduli berapa lama aku menghindarinya namun apabila Allah sudah menuliskan kami akan selalu terhubung tetap akan terhubung.

Seperti ku dan seseorang yang ku sebut suami ini. Di masa lalu kami boleh salah, kami membenci dan tak ingin bersama tetapi apabila di masa depan takdir kami bersama dan saling menyayangi, kami bisa apa?

"Sayang, kaos kaki mas dimana?" Itu tuh suara jodoh yang ku dari dulu sampai sekarang. Boleh bukan aku menyebutnya begitu? Karena memang hanya laki laki ini yang mengisi hidup ku.

"Udah iqis siapin di deket sepatu mas" teriak ku tak kalah nyaring. Bagaimana aku tidak berteriak coba kalau mas napier berbicara dengan ku saat aku sedang ada didapur untuk membuatkannya sarapan.

Aku sudah tidak terkejut lagi saat tau tiba tiba ada sepasang tangan bertengger dipinggang ku saat memasak begini karena hampir tiap waktu kerjadian ini terjadi.

"Duduk deh. Ini iqis udah selesai" pinta ku pada mas napier agar segera menempati meja makan.

"Kamu nanti ke toko?" Tanyanya masih dengan badan yang menempel pada ku.

"Iya mas kan semalem iqis udah bilang sih. Mas lupa?"

"Ngapain sih masih ke toko? Bukannya sekarang kamu udah punya karyawan?" Ucapnya sambil berjalan ke arah meja makan.

Aku menatapnya tak mengerti. Untuk apa ia mempertanyakan pertanyaan yang semestinya ia sendiri sudah tau jawabannya.

"Oh iya mas. Mas nanti pulang jam berapa? Kak nara ada acara dirumahnya, dia nyuruh iqis dateng" aku sengaja mengganti topik pembicaraan kami karena memang aku rasa topik yang mas napier tadi bicarakan sedikit terlalu berat untuk mengawali pagi ini.

Oh iya aku lupa menceritakan kak nara bukan? Setelah kak nara tau bahwa nama mas napier tidak tercetak di undangan yang ku berikan padanya kala itu membuatnya senang kegirangan. Ia menganggap bahwa ia masih punya kesempatan untuk mendekati mas napier.

Namun bukan mas napier namanya kalau sikap dingin, kaku dan seenaknya tidak muncul. Kak nara yang setelah itu gencar melakukan pendekatan lagi padanya langsung mendapat kecaman bahwa mas napier tidak akaj sudi melihat kak nara lagi kalau kalau kak nara masih mengharapkan mas napier menjadi lebih dari sahabat baginya.

Alhasil kak nara lebih memilih mundur dan tinggal sementara dengan orang tuanya di kota lain. Dua tahun setelahnya kak nara menikah dengan mas bagas. Dan baru baru ini kak nara kembali ke kota ini karena suaminya dipindah tugaskan disini.

"Mas usahakan pulang cepet" ucapnya sedikit dingin. Aku sudah paham arti dari ucapannya yang dingin itu.

Moodnya hancur pagi ini karena aku tak merespon ucapannya tadi. Memang akhir akhir ini entah mengapa mas napier seakan meminta ku untuk duduk diam dirumah tanpa harus repot repot pergi ketoko dengan alasan tugas mencari uang itu tugas suami padahal mas napier tau betul aku masih menjalankan toko itu bukan semata mata untuk uang tapi karena aku memang suka.

Cup.

Tak punya pilihan lain bagi ku agar moodnya kembali lagi. Kecupan singkat dan tak terencana cukup menjadi obat kala emosinya sudah tidak stabil lagi.

"Iqis ke kamar aisyah dulu ya mas"

Hana aisyah abbas. Putri pertama kami di pernikahan ke dua ini. Umurnya sudah hampir tujuh tahun. Aku bahkan tak menyangka bahwa aisyah akan tumbuh secepat ini.

Ku lihat aisyah sedang memakai kerudungnya saat aku sudah didepan kamarnya. Ia memang kami sekolahkan disekolah islam yang tak jauh dari rumah sehingga membuatnya harus berkerudung setiap ke sekolah.

"Pagi ayah" sapanya saat tau ayahnya sudah di meja makan menunggunya untuk sarapan bersama. Dikecupnya pelan pipi mas napier lalu duduk di sisi kiri meja.

"Adek nanti pulang jam berapa? Ibu yang jemput ya. Ayah kayaknya nanti gak bisa jemput deh ada meeting"

Liatlah buah tak jauh dari pohonnya. Itulah yang terlihat jelas dirumah ini. Aisyah itu sangat mirip dengan mas napier yang dulu. Ia akan berbicara seperlunya saja. Bahkan untuk menjawab iya saja kadang ia tidak mau. Seperti saat ini.

Sejujurnya ini yang membuat kami, aku dan mas napier sedikit sengit apabila sudah membicarakan tentang keinginannya untuk aku diam dirumah. Mas napier selalu berfikir bahwa dengan adanya aku dirumah aisyah tidak akan secuek itu sebagai perempuan padahal jelas jelas mas napier tau bahwa aku selalu berada dirumah saat aisyah sudah pulang dari sekolah.

Apa mas napier lupa kalau dulu ia lebih cuek ketimbang anak perempuannya ini?

Mungkin hanya kahlif yang tidak seperti mas napier walau kadang ada beberapa sikap mas napier menurun padanya namun untuk cuek dan dinginnya, khalif jauh dari itu.

Aku merindukan anak lelaki ku itu.

"Nanti iqis ke makan khalif ya mas?"

"Besok aja ya sama mas. Nanti katanya ke rumah nara?" Hampir saja aku melupakannya.

"Janji ya yah ke makam kakak?" Akhirnya kalimat bantahan keluar juga dari mulut aisyah.

"Iya beres. Adek mau kemana lagi?"

"Bisa gak panggilnya jangan adek? Aisyah mau dipanggil aisyah aja" aku terkejut mendengar ucapan aisyah. Bahkan mas napier pun sama dengan ku. Tak menyangka aisyah akan berucap seperti itu.

"Kenapa dek?" Tanya ku setelah bisa mengontrol keterkejutan ku.

"Aisyah udah gede bu" oh aku mengerti kemana arah pembicaraan ini. Aisyah malu dengan panggilan kami yang selalu menganggapnya anak kecil. Padahal jelas jelas ia memang ada diposisi itu untuk saat ini. Benar bukan ia adek dari khalif?

Mas napier yang mendengar itu hanya mengulum senyum sambil mengelus puncak kepala anak perempuannya itu "oke. Ayah gak akan panggil adek lagi. Mau ayah panggil kakak?"

"Kok kakak yah?"

"Ya kalau ibu hamil lagi kan berarti nanti aisyah jadi kakak" mata ku membola mendengar perkataan mas napier. Bahkan saat ini aku sudah memandangnya dengan tatapan membunuh.

Seenaknya saja berkata aku hamil. Padahal jelas jelas dua kali melahirkan saja mas napier selalu absen menemani ku.

Okelah, untuk kelahiran khalif tak bisa datang karena keadaan kami yang kurang baik tapi bukankah keterlaluan sewaktu aisyah lahir mas napier juga absen?
Alasannya karena seminar yang diadakan di Jakarta tidak memperbolehkan dirinya ijin sedikitpun alhasil mas napier datang setelah sehari aku melahirkan. Miris bukan?

"Ibu mau hamil?"

"Udah adek sarapan. Nanti keburu telat" ucap ku mengalihkan perhatiannya.

"Adek gak usah khawatir. Nanti ayah yang bakalan bikin ibu mau hamil lagi"

"Mas!!"

.
.
.
28062021

...End...
Ini end sebenarnya ya..
Mohon maaf kalau ceritanya masih diluar ekspektasi..
Trima kasih untuk semua dukungan dan votenya ya...

Jangan lupa untuk mampir di cerita terbaru makthor ya..
Oh iya untuk cerita terbaru makthor ganti judul dari "i'm oke" ke "from hell to goodbye"
Ceritanya mungkin sedikit berbau sara sih cuma bisa dipastikan kalau ceritanya bisa jadi temen gabut sihh 🤭

Thx sekali kali ya...
Borahe 💜

Tak Seindah Mimpi - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang