Terkadang kita tidak bisa selalu memaksakan sesuatu sesuai kehendak kita, sebaik apapun rencana kita atau setinggi apapun khayalan dan mimpi kita itu semua bukan jaminan bahwa semua akan menjadi kenyataan. Bukankan hidup tidak selalu sesuai apa yang kita inginkan?
Mungkin itu cukup menggambarkan keadaanku saat ini. Bayi kecil dihadapanku ini tidak sedikitpun punya dosa tapi ia harus menanggung akibat dari apa yang aku dan orang itu lakukan.
"Apa maksudnya?" Aku langsung menanyakan maksud dari lembaran kertas yang ku terima begitu orang itu masuk kedalam kamar.
"Kamu gak bisa baca?" Ujarnya sinis.
"Maksud bapak kita cerai?" Tanyaku masih tidak mengerti.
"Kamu baca apa?"
"Pembatalan pernikahan" jawabku lugu.
"Ya sudah berarti kita membatalkan pernikahan yabg terjadi beberapa bulan yang lalu"
"Ya gak bisa gitu dong pak. Khalif bagaimana nanti"
"Ohh kamu minta anak kamu itu dibiayain saya?"
Aku bingung berhadapan dengan orang ini. Apa aku terlalu terlihat menyedihkan? Atau aku terlalu terlihat miskin? Sampai sampai ia mengatakan itu "saya tidak pernah meminta uang bapak sepeserpun kalau bapak lupa"
"Bagus lah. Saya gak akan rugi banyak. Ya walau saya sudah rugi nikahin kamu"
Emosiku sudah benar benar tak bisa ku kontrol. Akhirnya dengan mudah tanganku mendarat di pipinya yang tirus itu.
Plak!!
"Oh kamu sekarang berani ya?" Teriaknya tak terima.
"Saya gak akan semarah ini kalau mulut bapak bisa sopan. Saya akan angkat kaki dari rumah ini tiga hari lagi. Jangan khawatir" ancam ku padanya.
"Bagus dah. Nanti hasil pembatalan nikah saya kirim ke rumahmu" setelah mengucapkan itu ia pergi dengan santainya.
Aku langsung luruh seketika. Menangis nasib yang sepertinya tidak berpihak padaku. Aku bahkan meraung raung tidak jelas. Apakah sebegini beratnya menjalani rumah tangga?
.
Aku menatap nanar rumah masa kecilku. Hari ini aku memutuskan untuk kembali ke rumah ibu. Bukan untuk liburan atau berkunjung tapi mungkin untuk menetap selamanya.
Kejadian tiga hari lalu, janjiku tiga hari yang lalu juga mengharuskanku mengubur mimpi yang bahkan baru sebentar ku impikan. Membuatku tertampar kenyataan bahwa aku memang harus membesarkan khalif sendirian.
Bermimpi untuk memberikan keluarga utuh untuk anakku memang harus ku kubur dalam dalam. Aku dan orang itu tidak sejalan. Kami bahkan gagal menyatukan apa yang menjadi impian kami, ah mungkin lebih tepatnya kami tidak mencoba bertukar pikiran atau bertukan harapan.
Dengan hengkangnya aku dari rumah mama ambar sudah menunjukkan bahwa kita memang tidak semestinya bersama. Bayangkan lima bulan kami tinggal dalam satu ruangan pun tidak bisa merubah segalanya.
Tapi aku tau tak sepenuhnya salahnya. Aku juga turut andil akan keretakan rumah tangga ini. Aku memaksanya mengikuti mauku. Dan aku lupa bahwa semuanya tidak gratis, ada hal hal yang harus ku bayar untuk jasanya.
Perlahan pasti. Ku langkahkan kakiku menuju pintu bercat coklat itu. Ditangan ku, ku gendong khalif yang baru berusia dua minggu.
"Assalamualaikum bu" sapa ku pada pintu yang masih tertutup itu.
Aku tau betul setelah ini aku masih akan menorehkan kekecewaan pada ibu. Perbuatanku yang sudah keluar dari ajarannya pasti akan membuatnya menangis lagi.
Entah sampai kapan aku akan seperti ini. Membuat wanita yang sudah melahirkanku menatapku terluka. Dan tak ada penawar yang bisa ku berikan.
Sautan salam dari dalam membuat dada ku tiba tiba sesak. Ku tarik nafas dalam dalam menghalau air mata yang siap tumpah kapan saja.
"Bilqis? Ya Allah nak. Kamu sudah lahiran? Sama siap kamu kesini? Napier mana? Masuk masuk"
Aku yang langsung diberondong banyak pertanyaan hanya bisa memeluk pelan ibu dari samping. Ada khalif yang menjadi penghalangku untuk memeluk ibu erat "masuk dulu ayo".
Masih dengan diamku. Mengamati gerak gerik ibu yang bingung dengan banyaknya barang yang ku bawa. Bahkan aku sudah mendengar omelannya yang tak melihat orang lain yang turut mengantarkanku.
"Kamu mau disini lama nak?" Tanyanya saat sudah ikut duduk disebelahku dan mulai melepas gendongan khalif untuk ibu gendong sendiri.
"Iya bu. Boleh ya. Iqis mau pemulihan habis melahirkan bu"
"Boleh asal sudah ijin suami. Ibu gak akan tanya kenapa iqis kesini sendiri. Ibu akan nunggu iqis cerita ke ibu sendiri"
Bersyukur. Mungkin itu yang bisa ku lakukan saat ini. Perkataan ibu memang membuatku tersadar bahwa aku sudah terlalu banyak lalai saat menjadi anaknya.
"Namanya siapa nak?"
"Namanya khalif. Khalif raditya abbas, bu" berat hati aku menyebut nama lengkap anakku itu. Karena apa? Kalian pasti tau, nama belakangnya sama dengan nama belakang orang itu.
"Ibu berasa mimpi loh qis. Belum tua tapi suda punya cucu. Ganteng lagi. Haha"
Ibu memang sedang bercanda tapi nyatanya hatiku menerimanya bukan bercandaan. Aku tau disetiap senyumnya ada luka yang coba ibu tutupi agar aku tak merasa terbebani. Padahal jelas jelas aku tau bahwa ibu tidak baik baik saja.
Untungnya semenjak kedatangan ku dan khalif membuat ibu tidak sendirian lagi. Selama aku memutuskan untuk berkuliah dilain kota dengan ibu hanya satu yang ada dipikiranku bagaimana kalau seandainya ibu kesepian? Mengingat ibu hanya memiliki anak aku saja.
.
"Loh bayi siapa ini mbak?" Tanya tetanggaku saat melihat ibu tengah menimang khalif di teras rumah.
Sudah seminggu aku di kamping halaman ku tapi dengan sengaja aku tidak menampakkan diri keluar rumah. Mungkin hanya sebatas halaman rumah saja aku berani untuk menampakkan wajahku.
"Bilqis, mbak" jawab ibu singkat.
"Loh bilqis disini? Kok sudah melahirkan?"
"Prematur mb. Cuma dua kilo lebih" tetangga yang mengajak ibu berbincang akhirnya berlalu setelah mendengar jawaban ibu.
Aku yang melihat itu menjadi tak enak hati. Saksi sosial pasti akan berlaku apabila mereka tau bahwa aku menikah saat itu sudah dalam posisi hamil. Lagi lagi aku pasti akan menambah beban untuk ibu.
Memikirkan itu membuatku ingin menceritakan segalanya yang terjadi pada ibu. Termasuk keputusan kami yang ingin membatalkan pernikahan ini, ah bukan, keinginan orang itu lebih tepatnya.
"Bu, iqis mau ngomong" akhirnya ku beranikan diri menjabarkan apa yang sedang terjadi.
Ibu meneteskan air matanya ditengah tengah kisahku. Sebegitu terlukanya kah ibu melihatku yang tidak pernah bisa bertingkah dengan baik ini?
"Ibu memang tidak mengerti apa itu pembatalan pernikahan tapi ibu akan menerimanya. Inget qis, ibu menerimanya bukan kerana ibu membenarkan apa yang kalian lakukan. Ibu menerimanya hanya karena ibu tak mau kamu semakin terluka didepannya. Ibu memaafkanmu tapi ibu juga kecewa sama kamu"
.
.
.
28052021
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Mimpi - End
Romancekesalahan kita dulu pernah membuatku bermimpi indah tapi itu tak bertahan lama.. dan sekarang, tiba tiba kamu datang menawarkan mimpi serupa?