TSM 17

2.9K 255 7
                                    

Tak pernah terlintas dalam pikiran ku harus satu mobil dengan orang itu lagi. Terakhir kali aku berduaan dengannya mungkin saat kami sedang dalam perjalanan untuk mencari restu pada ibu.

Ahh.. ibu.. aku merindukannya.

"Ini belok mana?" Suara orang itu menarik ku kembali ke kenyataan bahwa aku sedang bersamanya.

Aku mentap jalanan lalu memberinya kode untuk berbelok ke sisi kiri jalan. Dan tak jauh dari itu tujuan kami akan segera terlihat.

"Dimana?" Tanya orang itu saat kami sudah menginjakkan kaki di hamparan tanah pemakaman.

Iya, kami sedang bersama untuk mengunjungi anak kami, khalif. Menyebutnya anak kami rasanya masih asing bagi ku namun seperti itulah kenyataannya.

Tak perlu perlu menjawab pertanyaan yang orang itu ajukan, aku cukup melangkahkan kaki ku ke arah dimana khalif tidur.

Orang itu, ayah khalif sudah tak lagi mengeluarkan suara tapi aku tau bahwa ia mengikuti ku dari belakang dengan membawa bunga mawar putih yang akan ia berikan pada khalif.

Aku langsung mendudukkan diri ku saat aku sudah sampai di makam yang bertuliskan nama khalif "assalamualikum anak ibu. Tebak dong ibu dateng sama siapa?"

"Ayah. Ini ayah, nak" ucap orang itu memotong perkataan ku. Ia bahkan sudah duduk teratur diseberang ku "maaf ya ayah dateng telat. Ibu susah dibujuknya. Hehehe" aku hanya menunduk sambil mendengarkan orang itu bercakap dengan batu nisan khalif. Seakan memang benar dihadapannya ada khalif.

"-- ayah belum sempat ketemu khalif ya. Nanti kita ketemu di surga ya. Khalif harus tungguin ayah disana" helaan nafas panjang terdengar ditelinga ku. Aku tau betul bagaimana perasaannya. Bertemu dengan anaknya saat anaknya tak lagi ada didunia.

Amat sangat menyedihkan. Hanya bisa memandang nisannya dan mengelusnya pelan tanpa bisa memeluknya atau berinteraksi dengannya. Semenyakitkan itu.

"-- jangan marah sama ayah ya nak. Ayah bukan gak mau nemuin khalif tapi waktu itu ayah gak bisa nemuin khalif. Ayah kecelakaan waktu nyarik ibu sama khalif" ucapan terakhir orang itu membuat ku langsung mengalihkan  pandangan ku padanya.

Kecelakaan? Sungguh? Bukan alasan yang ia buat buat bukan? Apa benar ia mencari ku dan khalif? Bolehkah aku mempercayainya sekali ini saja?

"-- ayah gak bisa pergi jauh waktu itu karena memang harus dirawat. Maaf ya gak bisa jagain khalif waktu kecil. Ayah percaya kalau ibu akan jaga khalif dengan baik"

"-- ayah harus berterima kasih sama khalif, sama ibu juga karena berkat kalian, ayah bisa tau arti hidup sebenarnya. Kalau waktu bisa diulang lagi, ayah pasti bakalan cari khalif dan nemenin khalif terus. Maaf ya belum bisa jadi ayah yang baik" aura dingin, kaku dan semena mene yang biasanya melekat pada orang itu seketika sirna saat ia berada didepan makam anaknya.

Harus kehilangan dahulu baru bisa tau arti kehadiran seseorang. Aku percaya bahwa siapapun itu tidak akan bisa menghargai seseorang disampingnya sebelum seseorang itu pergi meninggalkannya. Kita akan tau seberapa penting seseorang dihidup kita setelah orang itu tak lagi ada.

"Khalif punya gambaran sempurna untuk sosok ayahnya. Dia gak pernah menyesal punya ayah seperti anda" akhirnya aku ikut buka suara setelah mendengar penyesalannya yang memang tak lagi dibuat buat.

"Bagaimana bisa?" Tanya orang itu keheranan.

"Saya yang menceritakan semuanya padanya. Khalif pernah menangis saat dia diolok olok temennya karena tak pernah terlihat datang sama ayahnya" aku mulai menerawang lagi kejadian mengenaskan itu. Gambaran khalif menangis melekat jelas dibenak ku.

"-- anda tau apa yang khalif katakan saat saya mencoba untuk menguatkan dia? Dia saat itu berkata "mau dimanapun ayah, khalif gak peduli. Yang khalif tau khalif ada karena ayah" sebangga itu dia punya sosok ayah yang bahkan hanya ia tau dari cerita saya"

"Apa khalif sering menanyakan saya?" Tanya orang itu.

"Sering. Sangat sering. Foto anda selalu ada dibawah bantalnya. Khalif juga sering bilang "alif mirip ayah ya bu? Ganteng". Dia selalu ingin seperti anda" aku mulai sesak menceritakan bagian ini. Ocehan khalif tentang ia yang sangat ingin seperti ayahnya bahkan aku dengar hampir setiap hari.

Ia membanggakan ayahnya walau tak pernah bertemu dengan sosoknya.

"Kapan kecelakaannya?" Tanya ku pada orang itu. Aku cukup ingin tahu bagian ini.

"Seminggu setelah kamu keluar dari rumah. Saat itu saya mulai sadar atas segala yang telah saya perbuat. Saya kecelakaan saat di jalan menuju rumah ibu" jelasnya.

"-- saya memang harusnya menarik dahulu pembatalan pernikahan kita tapi saat itu saya gak bisa karena saya terlalu malu untuk menjilat ludah saya sendiri sampai akhirnya kecelakaan itu membuat saya sadar bahwa saya sudah tidak bisa berbuat apa apa saat berkas kita sudah mulai disidangkan"

Aku melihat jelas raut penyesalan dan lelah bercampur jadi satu diwajahnya. Orang itu bahkan mulai menutupinya dengan kaca mata hitam yang ia ambil dari dalam sakunya.

"-- apa saya bisa menebus semuanya kembali? Saya ingin membuat khalif tak perlu khawatir tentang kamu. Saya ingin khalif menjadi saksi bahwa saya tidak akan menyia nyiakan kamu lagi"

Apa aku sedang dilamar?

Hanya bisa terdiam. Tidak tau apa yang ku katakan. Bahkan aku sendiri tidak tau apa yang dirasakan hati ku.

Mungkin untuk semua orang dilamar itu sebuah kebahagian tapi apakah itu berlaku untuk ku juga? Sepertinya tidak. Mengingat orang yang melamar ku adalah orang yang sudah membuat ku terluka.

Tapi tidak bisa ku pungkiri bahwa aku merasa bangga saat kalimat ajakan menikahnya keluar dari mulut orang itu. Bukan kah aku wajar kalau seandainya aku merasa menang? Membuat masa lalu akhirnya menyadari bahwa aku juga pantas diperhitungkan dan diperjuangkan.

Iya atau tidak? 

.
.
.

21062021

Maaf ya up nya lama 😔
Thx buat votenya 💜

Enjoy ya...

Tak Seindah Mimpi - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang