TSM 6

3.1K 233 4
                                    

"Saya mau bapak tanggung jawab. Saya mohon pak, tolong menikah dengan saya" aku tak pernah lelah mengatakan kalimat itu pada lelaki dihadapanku ini.

"Berapa kali saya bilang, saya gak mau! Kamu kira menikah gampang?" Tak lagi ku pedulikan tinggi nada bicaranya, yang jadi fokusku hanya membuatnya untuk menikahiku. Itu saja.

"Saya hamil pak" aku menunduk setelah mengatakan itu.

Langkah kaki mendekat terdengar jelas, membuatku secara spontan melindungi perutku "kamu jangan main main sama saya ya anak kecil".

Aku memejamkan mataku sejenak lalu dengan berani menatap matanya yang tepat didepanku beberapa senti "untuk apa saya bohong! Kalau waktu itu bapak tidak.."

"Cukup!!" Katanya naik pitam "kamu yakin itu anak saya?"

"Ada noda darah di sprei waktu itu kalau bapak lupa. Tolong nikahi saya, pak. Saya gak akan minta dinikahi kalau saya gak hamil!!" Nada bicaraku tak kalah tinggi dengannya "kalau bapak gak mau tanggung jawab saya akan mempermalukan bapak di media sosial! Bapak tau kan kekuatan media sosial saat ini seperti apa? Saya tunggu jawaban bapak dua minggu lagi" ujarku telak sambil menyingkir dari kantor orang itu.

Kalau kalian mengira aku berani dengan orang itu, kalian salah besar. Aku bisa menggertaknya tak lain karena aku nekat. Aku takut orang itu tak mau bertanggung jawab, makanya aku berusaha membuat semua ancamanku terdengar mengerikan dan menyudutkannya sehingga ia dengan rela menikahiku.

Aku mungkin bisa saja mengambil jalan pintas dengan menggugurkan janin ini tapi aku sadar, janin ini saja sudah datang dari kesalahanku dan aku tidak mau kalau kesalahanku juga yang akan melenyapkannya. Makanya aku memaksa orang itu menikahi setidaknya nanti dimasa depan janin ini akan legal di atas kertas.

Mungkin untuk hukum syariat janin ini akan tidak sama dengan anak kandung yang lahir dari hubungan yang halal tapi setidaknya nanti ia tidak akan terintimidasi dengan lingkungan karena di akta lahirnya ada nama ayah ibunya. Aku hanya ini itu.

.

"Saya minta maaf bu" hanya kata itu yang mampu ku ucapkan saat aku di pertemukan dengan calon mertuaku.

Setelah kedatanganku waktu itu ke kantor orang itu akhirnya orang itu bisa berpikir jernih dengan mau bertanggung jawab dan menikahiku. Tapi pasti semua tak ada yang gratis bukan?

Ia menawarkan kesepakatan padaku.

1. Aku harus mengungkapkan semuanya pada mamanya. Iya orang itu ternyata sama denganku hanya memiliki ibu karena ayahnya juga sudah meninggal.
Penawaran ini aku iyakan.

2. Aku harus menerima segala konsekuensi didalam perkawinan kami kelak.
Sejujurnya untuk point ini aku tidak mengerti hanya saja ia berjanji untuk tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, itu sudah cukup buatku.

3. Tidak ada kontak fisik apapun.
Hahaha. Saat point ke tiga ia ajukan rasanya aku ingin terbahak dihadapannya. Bagaimana tidak, bukannya aku hamil karena ulahnya? Kenapa sekarang malah aku yang seakan ngebet untuk dibelai? bukannya penawaran ke tiga ini cocok untuknya?

"Kalau boleh jujur mama kecewa. Tapi dengan kalian tanggung jawab begini mama lega. Setidaknya tidak ada kesalahan yang kalian perbuat apalagi posisi iqis sudah hamil".

Jawaban calon mama mertuaku membuatku bernafas lega, setidaknya aku tidak dibenci. Hanya saja yang masih mengganjal pikiranku bagaimana meminta restu ibu. 

Aku tak bisa membayangkan wajah ibu yang penuh kekecewaan itu atau mungkin aku akan membuatnya menangis. Entahlah, tapi aku terima segala resikonya karena aku memang sangat ingin menikah didampingi ibu dan dapat restunya.

"Kalau restu dari ibumu susah. Kita gugurkan saja anak itu mumpung belum besar" ujarnya dengan wajah datar sambil mengendarai mobil menuju ke arah kampungku.

Aku sudah menatapnya horor. Ingin rasanya ku daratkan tanganku di pipinya. Aku amat tak habis pikir bagaimana bisa seorang ayah ingin menggugurkan anaknya sendiri. Apa menurutnya menggugurkan janin yang masih kecil bukan tindakan membunuh?

Tak bisa ku bayangkan bagaimana hidupku yang harus ku habiskan dengannya. Rasanya gambaran tingkahnya yang dingin, judes dan mulutnya yang pedas akan menjadi makanan sehari hariku nanti.

"Kita harus dapat restu ibu bagaimanapun caranya. Aku tak ingin menjadi seorang pembunuh bagi anakku sendiri" ujarku menahan amarah.

"Kamu ngatain saya pembunuh?"

"Bukannya bapak sendiri yang bilang mau menggugurkan anak ini?"

"Cukup!!"

Selalu seenaknya sendiri. Heran deh, dulu calon mama mertua ngidam apa.

.

"Saya napier bu. Kedatangan saya kesini mau meminta ijin untuk menikahi anak ibu" sapaan pembuka dari orang itu langsung to the point.

Sudah ku duga ibu pasti akan kaget mendengar rencana menikah kami ini.

"Kok tiba tiba mas? Ada apa?" Tanya ibu penasaran.

Aku yang sudah tidak tahan lagi akhirnya bersimpuh dihadapan ibu. Menangis sejadi jadinya sambil bergunam kata maaf berkali kali.

Tarikan nafas besar terdengar oleh telingaku, ada rasa kecewa terselip disana. Aku paham bagaimana perasaan ibu saat ini. Pasti berat melihat tingkah anak semata wayangnya yang sudah kelewat batas.

Aku bahkan sudah menyiapkan pipiku apabila memang ibu ingin melampiaskan kemarahannya. Aku terima apapun itu asal ibu mau memaafkanku dan memberi kami restu untuk menikah.

"Sudah berapa bulan?" Nada bicara ibu masih lembut, padahal aku tau betul hatinya bergejolak.

"Mau tiga bulan" jawabku takut takut.

"Seminggu waktu buat bersiap cukup?"

Aku dan orang itu saling pandang untuk lebih mengerti maksud ibu "cukup bu. Saya akan segera mengurus berkasnya" aku tak menyangka orang itu akan menjawab setegas itu.

Apa ini pertanda bahwa semuanya akan baik baik saja nanti didepan? Atau malah sebaliknya?

.

Kami menikah tepat seminggu setelah aku dan orang itu bertemu ibu. Tak ada pesta mewah atau pelaminan bagus seperti mimpi anak seusiaku. Yang ada hanya tangis entah tangisan bahagia atau tangisan sedih aku pun tak tau.

Aku memang tak menuntut banyak atas pernikahan ini, bagiku kami sudah sah itu sudah lebih dari cukup karena aku tau perbuatan kami saja sudah membuat orang tua dan keluarga kami malu.

Malam hari setelah pernikahan itu aku langsung diboyong untuk kembali ke kota tempat aku kuliah dan tinggal dengan mama mertuaku, mama ambar.

Awalnya aku protes ingin tetap tinggal di kost alasannya karena memang aku ingin hidup mandiri tapi berhubung mama mertua hanya tinggal sendiri akhirnya aku mengalah untuk manut ikut numpang tinggal disana.

"Kamu boleh tidur dikamar saya tapi kamu harus ikut peraturan saya. Kita tidak akan tidur seranjang. Kamu bisa tidur di kasur, saya tidur di kursi tidur itu. Jangan pernah sedikitpun menyentuh barang saya. Jangan mengajak saya berbicara kalau tidak penting. Kita tidak perlu menunjukkan kemesraan atau kehangatan dirumah ini karena mama tau saya menikahi kamu karena kamu hamil. Mengerti kamu?"

.
.
.
23052021

Tak Seindah Mimpi - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang