TSM 4

3.1K 305 5
                                    

Siang ini aku sedang meneliti bunga bunga yang masuk kedalam toko, namun tiba tiba telepon toko berdering.

"Selamat siang dengan aeri florist, bisa dibantu?" Sapaku menyapa saat telepon di meja berdering.

"Siang mbak. Bisa pesan bunga?" Jawab penelpon.

"Dengan siapa ibu? Bunga apa?"

"Dengan naeemah. Bunga mawar putih lima belas tangkai bisa? Tolong di rangkai sebagus mungkin ya mbak soalnya untuk orang spesial"

Naeemah. Nama yang aku sangat kenal. Tapi apa mungkin kakak orang itu sedang ada di kota ini? Setauku kakak orang itu tidak tinggal di kota ini, ia ikut dengan suaminya di kota lain.

"Ahh... Mungkin hanya namanya yang sama" Jeritku dalam hati.

"Oh bisa ibu. Mau dikirim kemana?"

"Bisa tidak kita janjian bertemu di mall X?" Pintanya.

"Boleh bu. Kebetulan memang lokasi toko kami dekat dengan mall tersebut. Mau diantar jam berapa bu?"

"Sekarang bisa mbak? Kebetulan saya sudah dijalan"

"Bisa ibu. Mohon saya diberi nomor hape yang bisa dihubungi"

Setelah pemesan menyebutkan nomor hape yang bisa dihubungi, telepon kami terputus. Aku segera merangkai dan mengemas pesanan sesuai yang ibu ibu kehendaki.

Aku menstater motorku untuk melaju ke mall tersebut. Tadinya aku ingin namira yang mengantarnya, jaga jaga apabila memang kakak orang itu yang memesan tapi tak urung aku juga yang mengantar. Karena namira sedang mengerjakan pesanan yang sudah ia kerjakan sebelumnya.

Saat kakiku sudah berdiri didepan pintu mall aku mulai menghubungi pemesan bunga tersebut dan ternyata ia sudah didalam, disalah satu restoran cina dilantai tiga.

"Apa orang yang berbaju hijau dekat jendela itu ya yang memesan bunga?" Aku menemukan ciri ciri yang pemesan katakan, mengenakan baju hijau didekat jendela.

Duduknya yang membelakangi pintu masuk membuatku ragu ragu apakah benar orang yang duduk disitu benar si pemesan.

"Permisi bu, apa benar ibu naeemah?" Ujarku saat sudah sampai dimeja itu.

Sepertinya pemandangan diluar sana lebih menarik sampai sampai ia tidak merespon sapaanku "bu" ku ulangi ucapanku lagi tapi kali ini dengan sedikit sentuhan di lengannya.

"Iqis udah nyampek?" Aku tak tau harus merespon perkataan tante ambar bagaimana lagi. Aku kaget, ternyata pemesan bunga ini adalah tante ambar.

Sepertinya Allah sedang menguji lagi apakah perkataanku sungguh sungguh apa tidak. Kalian pasti ingat bukan perkataanku yang mengatakan untuk mencoba menerima semuanya?

Aku mungkin sudah mengatakan untuk menerima semuanya tapi saat dihadapkan dengan situasi seperti ini, sejujurnya aku tetap ingin lari. Tapi aku sadar sampai kapan aku begini.

Akhirnya dengan sisa sisa kekuatan yang ku punya, aku mencoba untuk menghadapinya. Tak akan terjadi apa apa bukan kalau seandainya hanya bertemu begini?

"Iya tante. Ini bunganya" ku letakkan rangkaian bunga mawar putih itu di meja depanku.

"Berapa?" Tanya tante ambar sambil sibuk membuka dompet.

"Enggak usah tante. Hadiah buat tante aja. Iqis jalan..."

"Ehh gak bisa gitu dong. Oke mama terima bunga dari kamu tapi kamu harus nemenin mama makan dulu bentar ya"

"Tapi tante.."

"Udah gak ada penolakan!" Titahnya.

Dengan lesu aku mulai menarik kursi diseberang tempat duduk tante ambar. Aku sangat tidak nyaman berada satu meja lagi dengannya tapi untuk menolaknya mulutku kelu.

Melihat sorot matanya yang menatapku membuat rasa rindu ku padanya membuncah namun aku mencoba menutupinya.

Makanan datang dengan menu cukup untuk dua orang. Aku sempat bertanya dalam hati apa mungkin tante ambar sengaja untuk bertemu denganku? Karena sedari tadi duduk tak ada satupun pelayan yang datang untuk mencatat pesana kami, itu tandanya tante ambar sudah pesan duluan bukan?

"Iqis gak tanya mama dapet nomor telepon toko iqis dari mana?"

Aku menggelengkan kepalaku. Aku sudah tak kaget lagi dari mana tante ambar bisa tau florist ku, pasti dari kak nara, sahabat orang itu.

Kak nara itu sudah dianggap seperti anak sendiri sama tante ambar, kenapa bisa begitu? Karena memang mama kak nara itu juga sahabatnya tante ambar. Dulu rumah mereka berdekatan tapi saat kak nara masuk SMA ia pindah di rumah dinas yang diperuntukkan untuk ayahnya yang berprofesi sebagai polisi.

"Iya deh mama nyerah. Mama tau dari nara" kan apa ku bilang. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab.

"iqis sudah menikah lagi?" Pertanyaan yang paling ku hindari akhirnya keluar lebih cepat dari yang ku prediksi.

Aku hanya menggeleng gelengkan kepalaku sebagai jawaban pertanyaan tante ambar "kenapa?"

Kalau ditanya kenapa tidak menikah lagi? Aku sulit menjawabnya, Padahal sudah berulang kali mbak rara mengatakan bahwa ada beberapa lelaki yang ingin mengajakku taaruf.

Kegagalan di masa lalu membuatku selalu berfikir apakah akan ada orang yang bisa menerimaku yang penuh dengan dosa ini. Aku buta tentang hidup berumah tangga.

"Gak usah dijawab kalau iqis gak mau jawab. Oh iya mama boleh ketemu khalif? Mama kangen sama dia"

Deg!!! Aku harus mengatakan apa untuk permintaan ini? Apa aku perlu menceritakan semuanya? Tapi untuk apa?

"Maaf tante tapi sepertinya gak bisa" ujarku sambil menunduk.

"Kenapa gak bisa? Itu kan juga anak saya!" Aku memejamkan mataku saat suara yang ku kenal dulu menyapa indra pendengaranku. Aku tau siapa yang sedang berbicara.

"Pelankan suaramu. Duduk" perintah tante ambar kepada orang yang baru saja berbicara padaku.

"Saya butuh penjelasan dari kamu kenapa mama gak boleh bertemu dengan cucunya"

Menyesal. Itu yang ku rasakan saat ini. Harusnya tadi aku menolak ajakan tante ambar untuk makan bersama bukan? Sehingga aku tak perlu bertemu orang yang menduduki posisi utama untuk ku hindari.

Nada suaranya tak berubah jadi bisa ku pastikan bahwa sikapnya pun tak juga berubah. Selalu kejam. Ah satu lagi seenaknya sendiri, semena mena seakan hanya ia yang paling benar.

"Saya mau penjelasan!" Aku sudah tak tahan lagi, akhirnya ku beranikan diriku menatap manik matanya, sikap yang dulu bahkan tak ku punya.

Dulu aku selalu takut berhadapan dengannya. Ia seakan bukan lelaki yang ku temui sebelum kami menikah. Karena setelah kami resmi menikah tak ada sedikitpun kehangatan yang ku dapat. Yang ada seakan aku sedang hidup di kutub utara. Dingin dan beku.

"Untuk apa?"

"Karena saya ayahnya!" Apa apaan orang ini. Mengaku sebagai ayah tapi tidak pernah bersikap selayaknya ayah.

"Hahaha ayah? Jangan bercanda. Anda bahkan meminta saya untuk menggugurkannya bukan?"

"Tapi akhirnya saya menikahi kamu!"

"Menikah dan dibatalkan maksud anda?"

"Cukup!! Saya mau bertemu khalif titik!!" Rasanya tanganku sudah gatal ingin menampar orang ini, andai saja aku tidak sadar ini didepan umum dan didepan tante ambar.

"Temui khalif di surga sana!" Teriakku tak kalah keras.

"Maksud kamu?"

"Maksud iqis apa nak?"

.
.
.
22052021

Tak Seindah Mimpi - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang