| 7 | HUT RI

76 6 0
                                    

[ A R A N D R A ]

"Cinta tumbuh dari hati dengan sendirinya, tanpa diduga dan tak bisa dipaksa."—Arana

7. HUT RI

Nyanyian lagu Indonesia Raya terdengar nyaring dan merdu di halaman sekolah SMA Berlian. Para peserta upacara mengarahkan mata mereka ke bendera merah putih yang tengah dinaikkan. Tangan kanan mereka menunjukkan sikap hormat.

Bagi sebagian orang, akan terasa tentram ketika menatap bendera merah putih. Selalu ada perasaan berbeda ketika menatap bendera kebangsaan Indonesia itu. Tentram, tenang, seperti yang tengah di rasakan Arana saat ini.

Menjelang berakhirnya upacara, grup paduan suara SMA Berlian juga menyanyikan lagu "17 Agustus" dengan suara sama merdunya. Hari ini adalah hari itu, hari kemerdekaan.

"Tumben diem, biasanya kalo upacara lo yang paling ribut," cibir Arana selesai upacara.

Jonathan menyentil dahi Arana, membuat gadis itu langsung meringis dan mengusap-usap dahinya. "Matamu!" balasnya.

"Upacara peringatan hari kemerdekaan, nggak baik kalo ribut," ucap Arjun.

"Wow! Pinter juga lo, tumben," ucap Grevan.

"Gini-gini gue cinta tanah air," sahut Arjun.

"Cinta tanah air kok suka minum-minum, merusak itu namanya," ucap Candra.

"Minum air putih," sangkal Arjun.

"Gue liat lo di klub tadi malem," ucap Candra.

Arjun mendapat jotosan dari Arana di lengan atasnya. "Parah! Nggak ajak-ajak!" omel Arana.

Berhubung hari ini adalah hari kemerdekaan, SMA Berlian mengadakan berbagai perayaan di sekolah. Banyak sekali lomba kecil-kecilan antar kelas yang digelar di halaman sekolah. Ada pameran dan juga unjuk bakat di hari ini.

Arana ikut lomba memindahkan kelereng dengan sendok, mewakili kelasnya. Sekadar info, Arana adalah satu-satunya perempuan yang ikut lomba agustusan mewakili kelasnya. Karena siswi-siswi sekelasnya tak ada yang mau ikut memeriahkan. Ya ... tahu lah sendiri. Siswi-siswi SMA Berlian kebanyakan seperti princess.

"AYO, RAA!!! SEMANGAT!!" teriak Candra dengan suara keras di tepi halaman.

"Berisik lo, anjir! Kuping gue budeg kalo lama-lama berdiri di deket lo!" omel Arjun yang berdiri persis di samping Candra. Cowok itu hanya cengengesan.

Arana melangkahkan kakinya dengan perlahan, perlahan tapi pasti. Bibir dan giginya menggigit kuat sendok besi itu agar tidak oleng. Ia mulai berjalan meninggalkan garis start.

"GO ARA GO ARA GO!!!" teriak Candra lagi.

"Teriak lagi, gue timpuk lo pake tong sampah!" ancam Arjun.

"Nggak takut," sahut Candra menantang.

"Daripada lo marah-marah ke Candra karena dia berisik, mending lo pergi aja. Cari tempat lain yang sepi," ucap Grevan. Ia juga berdiri di samping Candra, namun tak ribet seperti Arjun.

"Kuburan misalnya," lanjut Candra. "Sana ke kuburan, dijamin sepi di sana."

Arjun menye-menye. "Sini ki kibirin, dijimin sipi di sini."

Candra menatap Arjun dengan sebal. Kemudian, tatapannya kembali kepada Arana yang tengah berjuang untuk kelasnya di depan sana. Gadis itu sudah hampir mencapai garis finish.

"AYO, RA!!! LEBIH CEPET!" teriak Candra lagi.

Akhirnya, Arana berhasil meletakkan kelereng itu ke dalam piring yang tersedia di garis finish.

𝐀𝐑𝐀𝐍𝐃𝐑𝐀 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang