[ A R A N D R A ]
"Jangan pergi, jangan mati. Kehilanganmu lebih mengerikan dari apapun di dunia ini." — Thalia
16. KUAT, GREVAN!
Tangisan Thalia terdengar sangat pilu. Ia terisak hebat sampai tubuhnya bergetar. Thalia terpukul. Siapa sih yang tak sakit melihat pacar sendiri terbaring lemah di dalam sana?
"Sabar, Thal. Grevan pasti kuat," ucap Renata seraya mengusap-usap bahu Thalia. Sementara ia hanya merembes sedikit, tak sampai terisak-isak. Tapi, Renata tetap sedih juga dan terpukul. Sekaligus marah.
Arjun, Jonathan, dan Regan berdiri di depan pintu ruang itu. Di dalam sana ada Asya dan Prima—kedua orang tua Grevan. Setelah Thalia, kedua orang itu yang gantian melihat kondisi Grevan setelah penanganan selesai pukul empat pagi tadi.
"Thal, jangan nangis terus. Grevan nanti sedih," ucap Renata ikut menenangkannya. "Udah ya."
"Gue takut, Kak," ucap Thalia.
Ya, Thalia pasti takut. Kalau kalian jadi Thalia juga pasti takut setelah mengetahui pacar sendiri tengah ... koma.
Luka tusuk di perut Grevan memang sudah berhasil ditangani. Cowok itu mendapatkan beberapa jahitan dan sempat kekurangan darah. Namun, kondisinya tak baik dan sekarang koma.
"Thal, liat gue," pinta Renata. Ia jongkok di hadapan Thalia yang duduk di kursi panjang khas rumah sakit. "Grevan itu kuat, dia hebat! Dia nggak bakal kenapa-kenapa. Lo pikir, Grevan tega gitu biarin kita sedih-sedih? Nggak akan. Grevan pasti sembuh dan hadir lagi di antara kita. Percaya sama gue. Okay?"
Thalia mengangguk, persis seperti anak kecil yang berhenti menangis karena ditawari es krim cokelat.
Renata mengusap sisa-sisa air mata di pipi Thalia. "Udah, jangan nangis."
Renata menjatuhkan bokongnya di samping Thalia. Jonathan juga menyusul duduk di sebelahnya dan langsung memijat pelipis. Sementara Regan berdiri di sisi Thalia bersama Arjun.
Renata mengusap-usap lengan Jonathan dengan lembut. Ia tahu pacarnya itu juga sedih.
"Grevan gimana?" tanya Candra yang muncul tiba-tiba dengan raut panik.
"Koma," jawab Arjun. Lalu, ia menghembuskan napas kasar.
Candra memandang ke arah ruangan di samping mereka, ruangannya Grevan. Ia mengusap wajah dengan gusar. Sedih.
"Arana mana?" tanya Arjun.
"Tadi dia minta ke sini juga. Tapi kondisinya belum baik lah, makanya gue larang," jawab Candra.
"Iya, tadi juga gue liat masih lemes banget," sahut Renata.
"Nggak papa lah, Arana juga butuh istirahat," ucap Jonathan.
"Tadi Arana sedih banget pas denger Grevan luka parah," ucap Candra bercerita. "Dia nyalahin diri terus. Katanya ini gara-gara dia."
Arjun menggeleng dengan otomatis. "Nggak, bukan salah dia. Habis ini gue ke ruangan Arana buat nenangin dia."
***
Arana langsung membuka matanya ketika menyadari pintu ruang rawatnya dibuka oleh seseorang. Cowok yang menemaninya sejak kemarin sore datang lagi. Siapa lagi kalau bukan Candra. Ia terlihat benar-benar bersalah setelah meninggalkan Arana sendirian ketika dikeroyok oleh anak-anak SMA Gerhana.
"Gue pengen liat Grevan, Ndra," ujar Arana.
"Nggak, Ra. Liat diri lo, dong. Lo aja masih lemes gitu," balas Candra melarang.
"Tapi gue pengen liat. Yakali sahabat gue sakit, gue malah nggak muncul di sampingnya," bujuk Arana. "Boleh ya? Bantuin gue ke sana. Gue mau liat Grevan."
"Di sana udah banyak orang, Grevan juga belum sadar. Mending lo di sini dulu. Kalo udah sembuh, baru ntar jengukin dia," larang Candra lagi. "Nggak usah ngeyel."
Bukk!!
Sebuah bantal melayang mengenai wajah Candra.
"Lo siapa sih ngelarang-larang gue?!" murka Arana. "Siapa-siapa bukan, belagu banget pake ngatur-ngatur."
Candra menunduk memandangi bantal yang tadi menghantam wajahnya. Bantal itu tergeletak mengenaskan di lantai. Ia sama sekali tak ada niat untuk mengambilnya.
Candra lebih mementingkan hatinya yang terasa ngilu setelah mendengar ucapan Arana itu.
Kemudian, cowok itu menatap Arana. Mereka beradu pandang untuk beberapa detik sebelum akhirnya Candra kembali bersuara.
"Ya udah, terserah. Sana jengukin Grevan. Sendiri!" ucapnya sebelum membalikkan badan, hendak keluar dari ruangan itu.
Di ambang pintu, Candra tak sengaja menabrak Arjun yang baru saja dari toilet.
"Hati-hati, bro!" ucap Arjun. Namun, Candra tak menyahut. "Mau ke mana lo?"
"Cabut."
"Sini aja lah," ucap Arjun menahan bahu Candra.
"Arana nggak butuh gue," sahut Candra. Ia sempat melirik Arana sekilas sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana.
Arjun menatap Candra dan Arana bergantian. Ia bingung. "Kenapa sih dia?"
Arana mengangkat bahunya. Cuek.
"Lo ya?" tanya Arjun. "Jangan jahat-jahat jadi cewek."
"Kok gue sih?" tanya Arana sambil memperbaiki posisi tidurnya.
"Lo jangan sampe nyesel nyia-nyiain orang yang suka sama lo. Dia tulus, gue tahu. Malah lo gituin." Arjun menarik kursi dekat ranjang Arana dan duduk di atasnya. "Dia capek terus pergi, baru tahu rasa lo."
"Dih, bodoamat. Gue juga nggak suka sama dia," ucap Arana acuh tak acuh.
"Beneran?" tanya Arjun.
"Hm."
"Boong nih," goda Arjun sambil menoel hidung Arana. "Nggak mungkin nggak suka. Gue bisa lihat di antara kalian berdua ada sesuatu. Cara pandang lo aja beda ke dia."
"Ihh! Diem, ah!" kesal Arana. "Grevan gimana?" tanyanya mengganti topik.
"Koma," jawab Arjun.
"Kok cowok tadi nggak ngasih tahu gue kalo Grevan koma?!" protes Arana. "Dia cuma bilang kalo Grevan belum sadar."
"Lah emang belum sadar kan?" sahut Arjun.
Arana mengganti posisinya menjadi duduk, bersandar di kepala ranjang. Keheningan menyelimuti dua remaja itu untuk beberapa saat. Pikiran keduanya melayang ke mana-mana.
"Lo ngomong apa emang sama Candra?" tanya Arjun.
Arana menatap Arjun sebentar, sebelum akhirnya menggeleng. Memilih tak menjawab.
"Dia udah baik, Ra. Dia jagain lo di sini semaleman, malah lo usir. Lo usir kan?" ucap Arjun.
"Bacot banget sih lo," cibir Arana. "Lagian dia nemenin gue di sini cuma karena dia ngerasa bersalah. Cuma rasa pertanggungjawaban aja. Nggak lebih."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/246061485-288-k842232.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐑𝐀𝐍𝐃𝐑𝐀 (End)
Diversos(Beberapa chapter diprivat acak, harap follow untuk kenyamanan membaca) Ini kisah tentang ARANA, salah seorang siswi SMA Berlian. Ia terkenal cuek, namun bisa menjadi gila jika tengah bersama para sahabatnya. Hatinya dingin dan tak tersentuh. Hingga...