| 23 | TAMPARAN

52 2 0
                                    

[ A R A N D R A ]

"Ya ... sakit, sih. Tapi udah biasa kan? Jadi, nggak papa." — Arana

23. TAMPARAN

Motor besar itu berhenti di sebuah rumah mewah yang berada di perumahan elite. Rumah itu terlihat gelap. Sebab, lampu-lampu sudah dimatikan kecuali lampu teras dan lampu dekat di dekat pintu gerbang. Ya, hari sudah malam. Langit gulita bertaburkan bintang-bintang yang indah.

Gadis dengan perawakan tinggi dan kurus itu turun dari motor, lantas langsung melepas helm yang sedari tadi terpasang di kepalanya. Sesekali matanya melirik ke arah rumahnya.

"Orang tua lo nggak bakal marah kan kalo lo pulang selarut ini?" tanya Candra setelah melihat jam di pergelangan tangannya selama beberapa detik.

Raut wajah Candra terlihat santai. Karena yang ia tahu, Arana tipe cewek tomboy dan berteman dengan banyak cowok. Pasti bukan masalah besar kalau ia sering pulang malam.

"Santai aja, nggak usah dipikirin," jawab Arana.

Candra mengangguk. Kemudian, ia memberi isyarat dengan gerakan mata pada Arana. Meminta gadis itu untuk segera masuk ke dalam rumah.

"Lo jalan duluan," ujar Arana.

"Nggak," sahutnya. "Lo yang masuk dulu, gue liatin dari sini."

Arana menghembuskan napas kasar. "Jangan mancing deh. Kita seharian ini udah akur, nggak usah ngajak ribut."

Candra tertawa kecil, tawanya yang seperti biasa. Renyah dan terdengar lepas. "Makanya lo jangan kebanyakan bantah. Sana masuk."

Arana tak menyahut. Tangan kirinya malah diletakkan di pinggang dengan tangan kanan yang memeluk helm. Menunjukkan kalau ia tengah kesal.

"Sanaaa masukk, Raa," bujuk Candra. "Lo ngulur terus deh. Jangan-jangan belum puas seharian ini pergi bareng gue."

Arana bergidik. "Ihh amit-amit!!"

Gadis itu membalikkan badannya dan segera berjalan memasuki gerbang rumah. Langkahnya cepat-cepat. Seperti biasa, cowok menyebalkan itu sangat pintar membuatnya jengkel.

"Makasih buat hari ini," ucap Candra yang sudah tertinggal cukup jauh di belakang. Namun, Arana masih bisa mendengarnya secara samar-samar.

Kemudian, kedua kaki jenjangnya berhenti. Kepalanya meneliti kondisi sekitar yang benar-benar sudah sepi. Hanya ada suara jangkrik yang merasuki pendengaran.

Arana memutuskan untuk masuk lewat jendela kamarnya yang memang tidak pernah ia kunci—ketika ia keluar rumah. Pintu alternatif yang akan dipilihnya untuk menghindari omelan Anjani dan Tama.

BUK!!

Kepala Arana terlempar ke samping. Tangannya refleks memegangi pelipisnya yang sakit dan nyeri. Arana merasakan adanya cairan dan itu adalah darah. Barusan ... ada asbak kayu yang melayang dan tepat mengenai pelipis kirinya.

"Ups, lemparan saya meleset," ucap Anjani yang berdiri di teras rumah dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Lalu, kedua kakinya melangkah anggun menuju Arana. "Tadinya saya mau lempar ke mata kamu."

Arana mengusap darah yang mengalir dari pelipisnya dengan kasar. Berhubung itu luka di kepala, darah yang keluar juga lumayan banyak. Matanya juga menajam, menatap penuh ke arah wanita yang telah melahirkannya itu.

"Bagus jam segini baru pulang. Dapet berapa bookingan?" tanya Anjani dengan dagu yang sedikit terangkat.

Arana tidak menanggapi. Ia hanya mempertahankan raut datarnya dengan mata yang tetap menyorot tajam.

𝐀𝐑𝐀𝐍𝐃𝐑𝐀 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang