[ A R A N D R A ]
"Lo suka dia? Ambil!!" — Arana
17. SEMBUH
Hari ini, Arana diperbolehkan pulang ke rumah setelah menjalani rawat inap selama dua minggu. Pas, di hari ke empat belas. Ia tengah berkemas-kemas dengan dibantu oleh Arjun, Renata, dan Rego—Papanya.
"Udah semua kan? Jangan sampe ada yang ketinggalan," ucap Rego.
Renata membuka lemari kecil di samping ranjang Arana, memeriksanya. "Udah semua kok, om."
Arana yang duduk manis di atas ranjang menghela napas. Beberapa hari terakhir ia merasa gelisah dan tidak tenang. Tahu kenapa? Karena sejak hari di mana Candra meninggalkannya di dalam ruang inap, lelaki itu tidak pernah memunculkan dirinya lagi di hadapan Arana.
Candra tidak menjenguknya lagi sejak hari itu sampai hari ia diperbolehkan pulang.
"Pa," panggil Arana. Rego mendekat kepadanya dan mengusap rambut Arana dengan lembut. "Papa pulang duluan aja. Arana mau jenguk Grevan dulu."
Rego hanya diam, tak menyahut. Tapi, mimik wajahnya nampak tidak setuju.
"Nggak, Ra. Lo pulang aja biar bisa istirahat di rumah. Grevan banyak yang jagain kok. Temen-temen yang lain juga pada di sana," ucap Arjun.
Arana tersenyum tipis. "Gue? Pulang? Buat apa gue pulang?"
"Kamu bisa pulang ke rumah Papa, Ra," ucap Rego.
"Dan aku bakal berantem sama istri dan anak Papa?" sahut Arana. "Itu yang Papa mau?"
Rego menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sungguh, ia bingung dan serba salah. Keluarga barunya tidak mungkin menerima Arana. Mantan istrinya juga menerima Arana dengan setengah hati, hanya sekedar pertanggungjawaban yang bukan benar-benar tanggung jawab.
Bahkan, selama Arana dirawat, Tama dan Anjani sama sekali tidak menjenguknya. Apa mereka sudah menganggap Arana mati?
"Gini aja, om. Om pulang aja duluan, biar Arana aku yang jaga. Nanti Arana bisa pulang ke rumah aku kok," ucap Arjun memberi solusi. "Mau kan, Ra?"
Arana mengangguk samar. Sebenarnya tidak enak juga karena ia selalu merepotkan Arjun dan Lana, tapi mau bagaimana lagi? Hanya mereka yang benar-benar mengerti Arana dan menganggap Arana seperti keluarga.
Kelahiran Arana di dunia ini seperti sebuah kesalahan. Tak ada orang yang mengharapkannya.
"Oke," sahut Rego. "Papa pulang ya? Kalo kamu butuh sesuatu atau ada apa-apa, kamu bisa hubungi Papa."
Arana mengangguk singkat. Kemudian, ia mendapatkan kecupan hangat di dahinya.
"Jaga kesehatan, Pa," pesan Arana.
"Pasti, sayang," ucap Rego.
Lelaki itu keluar dari ruangan Arana dengan berat hati. Sepertinya, ia harus lebih memperhatikan Arana. Putrinya itu benar-benar butuh kasih sayang dan perhatian. Yang sayangnya ... ia sendiri pun tidak mampu memberikannya secara utuh.
Arana menatap ke langit-langit sambil menghirup napas panjang. Dadanya terasa sesak. Tapi, ia tak kan menangis. Tidak. Ia tidak bisa menangis.
"Sabar ya," ucap Renata sambil mengusap-usap bahu Arana.
"Gue nggak pernah minta dilahirkan, tapi orang tua gue yang dulunya mutusin pengin punya anak. Tapi ... kenapa gue diginiin? Kenapa gue dibuang?" ucap Arana terdengar sangat pilu.
"Jangan bilang gitu," ujar Renata seraya menarik Arana ke dalam pelukannya. Arana tidak menangis, malah Renata yang meneteskan air matanya.
"Lo punya kita, Ra. Lo nggak boleh kayak gitu. Kalo lo ngerasa sendirian, ngerasa terbuang dan nggak punya siapa-siapa, berarti lo nggak ngehargain kita semua yang selalu ada buat lo," ucap Arjun.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐑𝐀𝐍𝐃𝐑𝐀 (End)
Aléatoire(Beberapa chapter diprivat acak, harap follow untuk kenyamanan membaca) Ini kisah tentang ARANA, salah seorang siswi SMA Berlian. Ia terkenal cuek, namun bisa menjadi gila jika tengah bersama para sahabatnya. Hatinya dingin dan tak tersentuh. Hingga...