[18] Mengetahui

17 8 0
                                    


Langit berwarna jingga, serta angin sepoi-sepoi menemani langkah Kaptenal. Ia sedang berjalan-jalan tidak jauh dari rumah nya. Di waktu sore ini, Kaptenal merasakan perasaan yang berbeda saat ia mengingat perkataan nya pada Gralexa. Mungkin caranya salah, mengatakan bahwa Gralexa adalah 'gadis murahan'. Tidak, Gralexa bukanlah gadis murahan.

Kaptenal melihat sebuah kursi panjang di depan nya. Ia mendudukkan tubuhnya pada kursi itu. Lalu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, dan menengadahkan kepalanya menatap langit berwana jingga.

Menghela nafas. Kaptenal memejamkan matanya sejenak, merilekskan dirinya.

"Gue yakin lo ngerti, kalau lo udah tau kalau Deo milik orang lain."

Kaptenal menegakan dirinya.

"Kenapa gue gak ngasih tahu lo secara langsung? Itu karena gue takut, hubungan Deo sama Vrida hancur cuma gara-gara lo. Gue gak mau nantinya nama lo jadi buruk."

"Gue mau, Deo ngelepasin lo dan balik ke Vrida secara baik-baik."

Mengingat Gralexa mengatakan dirinya egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri, membuat Kaptenal terkekeh.

"Gak papa lah dibilang egois. Mungkin karena lo gak tahu apa-apa."

"Eh? Fika kemana ya? Kok gue jarang liat dia akhir-akhir ini? Gue juga gak ketemu dia di sekolah."

"Tumben banget lo nanyain si Fika," sahut seseorang.

Kaptenal menoleh. Ia mendengus begitu melihat orang itu ada di sampingnya.

"Lo ngapain di sini, Bonbon!" ketus Kaptenal. "Heran gue. Lo ada di mana-mana."

Wajah tengil Ibon, dengan senyuman yang merekah itu menatap Kaptenal. Ia duduk di sebelah Kaptenal.

"Kurang beruntung apa coba lo, Nal. Ketemu sama gue, yang udah ganteng, lucu, imut-imut gini."

Tubuh Kaptenal terasa merinding, mendengar Ibon memuji dirinya sendiri.

"Stres lo? Mau gue anterin ke psikolog?" cibir Kaptenal, dengan pandangan yang sinis pada Ibon.

Ibon tertawa. Hal itu membuat Kaptenal memutar bola matanya malas, dan memalingkan wajahnya. Ibon Menyimpan kaki kanannya di atas kaki kiri. "Kayaknya yang udah mulai stres itu lo, Nal. Pertama Fika. Terus Gralexa. Terus Deo sama Vrida. Udah gitu, dibilang egois lagi." Ibon kembali tertawa.

Kaptenal menggaruk-garuk kepalanya kasar. "Diem, Bon! Lama-lama gue bener-bener gila! Capek-capek gue ngurusin hidup orang yang gak ada gunanya buat gue, tapi lo denger si Gralexa bilang apa? Gue egois lah, gue mikirin diri gue sendiri lah."

Tangan Ibon terulur menepuk bahu Kaptenal, seolah ia sedang menguatkan sahabatnya itu.

"Gini ya, Nal. Kalau niat lo baik, gue yakin lo pasti berhasil. Karena gak mungkin ada hasil, kalau gak ada usaha. Gue juga yakin, hubungan Deo sama Vrida bakal jadi baik karena usaha lo."

"Tapi, Gralexa? Dia pasti bakal mikir, kalau lo ngasih harapan buat dia." Ibon menggeleng. "Nggak. Udah dari lama lo emang ngasih harapan ke dia. Dan itu sejak dari kecil. Waktu lo ngorbanin diri lo, cuma buat nyelamatin dia."

Kaptenal menghela nafas. "Cuma ada dua hal yang gue pikirin, tentang masa depan gue nanti. Pertama cita-cita gue. Yang ke-dua hidup gue. Cita-cita gue masih bisa gue gapai. Tapi hidup gue, itu gak tentu. Kapan pun gue bisa ninggalin dunia ini."

Ibon sedikit mendorong kepala Kaptenal dengan jari telunjuknya. "Mati, mati, mati. Itu aja terus! Nal, emang iya makhluk hidup itu bakal mati. Itu pasti, tapi lo gak boleh nyerah! Lo kenapa sih? Karena ginjal lo itu! Iya?"

Kaptenal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang