[47] Belum berakhir

14 7 0
                                    

Sementara waktu, di ruangan Ibon berada. Tami serta Retno, orang tuanya menemani Ibon yang masih menutup matanya. Setelah selesai ditangani oleh dokter dengan waktu yang cukup lama, akhirnya penanganan para dokter pada Ibon selesai. Luka nya memang cukup serius, tapi untungnya Ibon bisa bertahan.

Di dalam ruangan itu bukan hanya ada Ibon, Tami, dan Retno saja, Fika pun ikut menemani di dalam sana. Orang tua Ibon sama sekali belum mengetahui kejadian yang sebenarnya, bahkan Fika sendiri tidak tahu harus berkata yang sebenarnya atau tidak. Di satu sisi, Fika sangat ingin memberitahu mereka. Tapi sisi lainnya, ia takut jika Tami dan Retno melarangnya bertemu lagi dengan Ibon.

Dalam pikirannya yang berkecamuk, Fika sudah memutuskan untuk memberitahu Tami dan Retno. Mereka berhak untuk memarahinya, ia juga pantas mendapatkan hukumannya. Karena memang, semua ini adalah salahnya. Fika maju beberapa langkah, mendekati Tami dan Retno. Posisinya saat ini, ada di belakang mereka.

"Om, tante..."

Mendengar panggilan dari Fika, mereka berdua menoleh.

"Boleh saya berbicara dengan kalian?" Nafasnya seolah tertahan. Udara pun bahkan terasa menekan dirinya.

"Ah, iya. Silakan Fika." Tami mempersilahkan Fika untuk berbicara. Mereka pun memposisikan dirinya, dan terlihat bersiap untuk mendengarkan Fika dengan baik.

Pandangan dari Tami dan Retno, membuat Fika seketika menjadi gugup. Bahkan, tubuhnya saat ini terasa panas dingin. "Tante, om ... sebenarnya Ibon kayak gini karenaー" Ucapannya tiba-tiba terhenti, dan di selah oleh seseorang.

"Ibon gak hati-hati."

Pandangan mereka beralih pada Ibon yang sudah sadarkan diri. Retno serta Tami tersenyum pada Ibon, begitu pula dengan Ibon yang menyambut mereka dengan senyumnya. Ibon menatap Fika, yang berdiri sedikit jauh darinya.

"Lo, ada di sini?"

Sejenak, Fika masih diam. Padahal ia benar-benar berniat mengatakan yang sebenarnya, namun entah kenapa Ibon menghentikannya. Jika terus menerus disembunyikan, perasaan menyesalnya tidak akan hilang. "Iya, gue mau liat lo."

"Kaptenal, gimana?" tanya Ibon kembali.

"Seharusnya, tadi Kaptenal udah oprasi. Tapi, orang yang mau donor ... gak tau kemana," jawab Retno.

Fika menghela nafasnya. "Tante,, om. Sebenarnya Ibon kayak gini karenaー"

Lagi dan lagi, Ibon menghentikan Fika dengan santainya. "Fika, anterin gue ketemu Kaptenal sekarang."

Fika berdecak. "Bon, biarin dulu gue ngomong!"

"Lo mau ngomong apa? Palingan juga gak penting! Jadi gak usah. Sekarang anterin gue ke ruangan Kaptenal," tegas Ibon.

Tami mengusap bahu Ibon. "Kamu kan baru bangun, jangan kemana-mana dulu, Bon."

"Tapi, Ibon cuma mau ketemu Tenal, mah." Ibon menatap Retno, meminta persetujuan.

"Ya udah, temuin aja, Bon."

"Nah!" Ibon tersenyum lebar, ketika ayahnya mengizinkan. "Pttss! Fika! Bantuin gue, cepet!"

Lirikan mata Fika terlihat sinis pada Ibon. "Apaan? Jalan sendiri! Gak usah manja, lo!"

Retno dan Tami hanya memperhatikan nya sambil tersenyum geli, tanpa mau ikut campur obrolan mereka.

"Bantuin gue bawa cairan infusan nya, kek!"

Walau malas, Fika tetap membantu Ibon. Ia memegangi cairan infus itu, dan memberikan telapak tangannya di hadapan Ibon. Pria itu hanya memandangi telapak tangan Fika, membuatnya menggeram. Akhirnya, secara paksa Fika menyimpan telapak tangan Ibon di atas tangannya.

Kaptenal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang