[39] Berlanjut

20 8 0
                                    


Di atas ranjang rumah sakit, terdapat Kaptenal yang sedang berbaring. Di sampingnya, terdapat Ava, Ghea, dan Bisma. Orang tua Kaptenal langsung mengunjungi anak mereka, begitu Ava mengabari. Ghea terus mengusap kepala Kaptenal, menatapnya penuh rasa cemas dan gelisah.

"Kapan Tenal sembuh?" lontar Ghea, tanpa mengalihkan tatapannya yang terpaku pada Kaptenal.

"Harapan terakhirnya, hanya ada pada donor ginjal itu sendiri," jawab Ava.

Kaptenal berusaha berbicara, menahan rasa sakitnya. "M-mah, Tenal gak papa. Tenal masih ... kuat kok."

Bisma memberi sentilan di kening Kaptenal. "Sok kuat."

"Saya ini anaknya Pak Bisma loh, gak mungkin lemah ya, Pak," ucap Kaptenal, seolah sedang berbicara dengan orang lain.

"Saya ini Bisma loh, nak. Bapaknya Kaptenal."

"Oh, anda papah saya?"

"Anda anak saya, toh?"

Ghea yang mendengarkan obrolan antara anak dan bapak itu hanya geleng-geleng kepala. "Kalian ini ngomongin apa, sih?"

Ava terkekeh. "Gak ada bedanya. Sayang kamu, Nal. Kebanyakan ngambil sikap papah kamu."

"Iya, om. Kasihan sekali ya, Tenal yang malang ini."

"Nal? Papah bisa loh buang kamu, terus buat lagi pengganti kamu."

Kaptenal membulatkan matanya. Ia menarik lengan Ghea. "Mah, usir papah dari rumah ya. Please, mah. Cari suami baru aja. Tenal gak papa, ihklas kok punya papah baru. Asal baik dan tidak sombong."

Mulut Ghea sedikit terbuka mendengar ucapan Kaptenal. Sedangkan Bisma, ia menarik telinga Kaptenal. "Aduh, aduh. Paahhh, jangan tarik telinga dong!"

Bisma beralih menarik hidung Kaptenal. "Aduh, paaahh!"

Ghea memukul pelan tangan Bisma. "Pah! Jangan siksa anaknya, dong! Orang lagi sakit juga."

Kaptenal mengangguk. "Iya tuh, bener!"

Sedari tadi, Ava memperhatikan Kaptenal. "Penyakit yang kamu derita, bukan penyakit biasa. Om yakin, dibalik candaan kamu sekarang, kamu pasti lagi nahan sakit yang luar biasa. Om tahu, karena om ini seorang dokter, Nal." Ava tidak bisa bicara seperti ini di depan mereka, takutnya merusak suasana keluarga harmonis ini.

Kaptenal terdiam, ia memikirkan sesuatu. Untuk saat ini, mungkin ia tidak akan bisa pulang cepat. Mungkin nanti, Ibon akan mencarinya. Atau mungkin tidak? Apa Ibon masih marah padanya?

"Mah..." panggil Kaptenal.

"Iya, sayang? Kenapa? Apa ada yang sakit?"

Kaptenal menggeleng singkat. "Kalau ada yang nyariin Tenal, siapa pun termasuk Ibon, jangan kasih tahu, ya. Tenal gak mau ngerepotin lagi..."

"Kamu yakin, Nal? Kondisi kamu lagi kayak gini, kamu gak butuh temen-temen kamu?"

Kaptenal mengalihkan pandangannya dari Ghea. "Gak perlu."

"Ibon juga udah capek kali ngurusin kamu, Nal," celetuk Bisma, yang membuat Kaptenal memikirkannya.

"Apa iya?"

"Iya, makannya jangan ngerepotin orang lain."

"Papah kenapa sih? Emangnya Tenal se-ngerepotin itu?" protes Kaptenal.

Bisma mengangkat bahunya sekilas, dan berjalan menuju sofa untuk duduk di atasnya. Ava menghampiri kakanya itu, dan duduk tepat di sebelahnya. Mereka berdua memandangi Kaptenal, yang sedang berbicara santai dengan Ghea.

Kaptenal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang