[41] Semakin Memburuk

21 8 0
                                    


"Keadaan Tenal semakin memburuk? Apa mba belum menemukan pendonor untuk Tenal?"

Fika yang sedang melangkah, terhenti saat mendengar percakapan orang tuanya dari ponsel. Sepertinya, Ibu dari Fika itu sedang berbicara dengan kakaknya, yaitu Ghea. Fika diam, kembali mendengarkan.

"Tidak ada? Lalu bagaimana dengan Kaptenal, mba? Dia sangat membutuhkannya bukan? Terlebih, saat ini keadaannya semakin menurun."

Fika mengepalkan tangannya. Ia pergi dari sana, dan memasuki kamarnya. Air mata Fika mengalir begitu saja, begitu ia menutup pintu. Fika bersandar pada pintu itu. Ia menutup mulutnya, menahan isak tangis. Tubuhnya melorot ke bawah. Gadis itu memeluk ke-2 kakinya, dan menenggelamkan wajahnya.

"Maaf, Nal. Maaf...."

"Gue bener-bener minta maaf, udah bikin lo jadi kayak gini."

Fika semakin terisak.

"Gue takut, Nal. Gue takut kalau harus jujur..."

"Mamah sama papah, pasti bakal marah. Gue takut, Nal..."

Fika mengusap air matanya yang tidak berhenti mengalir. Ia mengepalkan tangannya begitu kuat. "Kenapa? Kenapa, gue ngelakuin ini sama lo dan bukan Gralexa ... itu karena lo pasti bisa ngertiin gue, Nal."

Bibir Fika tersenyum getir. "Kata lo, gue udah berlebihan? Tapi lo gak pernah bener-bener mau ngebongkar semua sifat gue. Om Bisma mungkin udah tahu, karena Om Bisma punya sifat yang sama kayak lo. Jadi, lo milih cerita sama Om Bisma, kan? Bukan tante Ghea?"

Fika kembali mengusap wajahnya, membersihkan sisa-sisa air mata. Ia beranjak, menuju sebuah meja. Tangannya bergerak, membuka laci meja itu. Gadis itu, mengambil sebuah pisau lipat yang tersimpan di dalam laci. Fika membuka mata pisaunya.

"Semua gara-gara lo, Gral!"

"Harusnya dulu lo mati aja."

"Lo gak pantes hidup! Lo gak pantes sama Kaptenal! Lo gak pantes punya temen! Lo gak pantes bahagia!"

Entah apa yang ada di dalam diri Fika, ia melemparkan semua kesalahan, kedengkian, juga kemarahan nya pada Gralexa. Seolah, semua yang terjadi, penyebabnya adalah Gralexa.

"Tenal kayak gini karena nolongin, lo. Harusnya lo udah mati, dan dia bisa hidup seperti biasa. Semuanya karena lo, Gral. Gue benci lo! Lo penyebab semua ini. Bukan gue..."

Genggam tangan Fika pada pegangan pisau lipat itu mengeras. Tatapan mata Fika juga menajam di saat yang bersamaan.

***

Hari sudah siang, Ibon, Gralexa, dan yang lainnya sudah pulang dari sekolah mereka. Seperti yang sudah dipikirkan oleh Ibon, pria itu ingin Gralexa menemui Kaptenal dan melihat keadaannya. Ibon membawa Gralexa ke rumah sakit, tempat Kaptenal dirawat. Mereka saat ini, masih menggunakan seragam sekolah karena tidak sempat untuk mengganti pakaian.

Mereka berdua berjalan di lorong rumah sakit, menuju ruangan Kaptenal yang Ibon ingat. Ibon membuka pintu ruangan itu, lalu masuk bersama Gralexa. Mereka berdua terdiam, saat melihat bahwa Kaptenal tidak ada di sana. Gralexa menoleh pada Ibon.

"Kaptenal mana, Bon?" tanya Gralexa. "Kita gak salah ruangan, kan?"

Ibon menggeleng pelan. "Nggak, Gral. Gue jelas-jelas masih inget, ini ruangan Kaptenal."

"Tapi ... Kaptenal nya ada di mana?"

Ibon diam.

Seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Ibon dan Gralexa menoleh. Ibon segera menghampirinya.

Kaptenal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang