[32] Malam Terakhir

18 8 0
                                    


Pagi berganti siang. Kaptenal dan yang lainnya sudah kembali ke penginapan, setelah mengunjungi museum yang menjadi tujuan mereka. Saat ini, Kaptenal dan Ibon sedang merangkum sebagian tugas mereka yang awalnya tertinggal sewaktu di museum. Seperti biasanya, Kaptenal dan Ibon selalu bekerja sama. Beberapa kosa kata mereka ganti, agar tidak terlihat sama persis.

Setelah dirasa selesai, Kaptenal dan Ibon merapikan peralatan tulis mereka dan berbaring santai.

"Nanti malem, acara puncaknya. Gue mau, malam itu juga Deo ngungkapin perasaannya sama Vrida. Gue udah capek, Bon," ujar Kaptenal.

"Semuanya tergantung sama usaha kita, Nal. Kalau kita lakuin cara yang tepat, bisa aja malem ini juga semuanya selesai. Dari pagi tadi, gue lihat-lihat Deo sama Vrida makin deket."

"Tapi itu juga, karena Gralexa gak ada di sini, kalau misalkan nanti kita udah pulang ... takutnya Deo malah balik lagi ke Gralexa," sambung Ibon.

Kaptenal menghela nafas lelah. "Terus, nasib gue gimana?"

Ibon terkekeh. "Sejak kapan lo perduli sama nasib lo?"

Kaptenal mengacak-acak rambutnya dengan kasar. "Ah, gue pengen mati. Tapi gue masih mau ngerasain hari besok!" papar Kaptenal.

"Lo kira, mati sama bangkit dari kubur bisa semau lo apa? Jangan sembarangan kalau ngomong. Lo gak akan bisa nyogok, Nal."

"Siapa juga yang mau nyogok? Sorry, gue bukan tikus berdasi yang ngasih uang buat nutupin lubang!" cetus Kaptenal, yang diakhiri dengan tawa mereka berdua.

Tawa mereka terhenti, begitu pintu terbuka. Deo muncul dari balik pintu itu, dan masuk begitu saja. Keadaan tubuhnya seperti lemas, wajahnya pun terlihat pucat. Kaptenal dan Ibon saling melemparkan pandangan bertanya-tanya. Ibon mengangkat bahunya.

"Lo, kenapa? Lemes gitu. Abis keliling dunia lo, hah?"

Deo menatap Kaptenal sinis, ia berjalan menuju tempat tidurnya sembari memegangi kepalanya. "Diem, lo!"

Deo langsung melemparkan badannya ke tempat tidur. Ibon beranjak, menghampiri Deo. Tangannya ragu-ragu menyentuh dahi Deo, yang langsung di tepis oleh Deo. "Gak usah pegang-pegang!"

"Buset nih anak, ye! Gue cuma mau cek kondisi lo doang. Tuh, jidat lo panas! Lo demam?"

Kaptenal yang mendengar ucapan Ibon, mengangkat sebelah alisnya. Ia beranjak dari tempatnya, dan pergi keluar ruangan.

"Lah? Si Tenal mau kemana, kok gue ditinggal?" heran Ibon.

Tak berselang lama, pintu terbuka menampilkan Kaptenal yang membawa Vrida bersamanya.

"Vrida?"

Deo yang mendengar nama Vrida di sebut oleh Ibon, langsung merubah posisinya menjadi duduk. "Lo, ngapain bawa dia ke sini?" tanya Deo, dengan nada tidak bersahabat.

Tanpa menjawab pertanyaan Deo, Kaptenal membawa Vrida masuk dan mendekat pada Deo. Kaptenal membawa telapak tangan Vrida pada dahi Deo. Vrida terkejut, ketika tangannya merasa hangat ketika menyentuh dahi Deo.

"Kamu demam, Yo?"

Deo memalingkan wajahnya. "Apaan sih, gue abis dari luar. Lo liat, kan? Di luar panas!"

"Tapi muka kamu pucet gitu. Kamu yakin gak apa-apa?"

Kaptenal menyenggol Ibon. Dan berbisik, "ayo, ke luar!"

Ibon mengangguk. Mereka berdua pergi, membiarkan Deo dan Vrida untuk berdua. Vrida menyuruh Deo untuk berbaring. Ia pergi menuju kamar mandi, sebelumnya ia mengambil handuk kecil dari tas Deo yang sebelumnya sudah ia siapkan. Vrida kembali dengan handuk yang sudah ia basahkan dengan air, untuk kompres Deo. Vrida duduk di samping ranjang dan perlahan, Vrida menyimpan handuk itu di dahi Deo.

Kaptenal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang