[38] Pertikaian Kecil

19 8 0
                                    


Gralexa menghela nafas. Di dalam kamar miliknya, ia selalu memikirkan bagaimana hari-hari tanpa Kaptenal ke depannya. Mau bagaimana Kaptenal menyuruhnya pergi, dirinya tidak akan pernah bisa. Rasa yang ada untuk Kaptenal, seperti tidak akan pernah hilang. Bahkan sekuat apapun ia mencoba.

Setelah pulang dari rumah Kaptenal karena dia mengusirnya, Gralexa sama sekali belum keluar dari kamarnya. Tesa yang melihat anaknya berdiam diri di kamar, menghampiri Gralexa dan mencoba berbicara padanya.

"Gral?" panggil Tesa.

"Iya, bun?"

Tesa menghampiri Gralexa yang sedang berada di meja belajarnya. "Kamu kenapa?"

"Gral? Gak apa-apa kok, bun."

"Gralexa..."

Hembusan nafas, Gralexa keluarkan perlahan. "Tante Ghea, mamah Kaptenal. Udah tau kalau aku Gralexa. Bunda tahu? Gara-gara aku, Kaptenal harus pergi jauh. Dia pingin kuliah di sini, tapi gara-gara aku dia harus ke luar negeri."

Tesa memberikan pelukan hangat, dan mengecup atas kepala Gralexa. "Kamu mau ngelakuin apa pun, bunda sama ayah gak akan ngelarang kamu. Tapi kalau ada sesuatu, kamu cerita sama bunda ya."

Gralexa tersenyum dan membalas pelukan Tesa. "Bunda? Kalau misalnya Gral bales semuanya, bunda setuju gak?"

"Boleh, asalkan kamu gak melewati batas."

"Iya! Gral gak akan berlebihan. Makasih, bun..."

Berbeda dengan Gralexa, Kaptenal saat ini sedang duduk di luar rumahnya. Ibon ikut duduk di samping Kaptenal yang sedang melamun, entah memikirkan apa. Ia membawa segelas air untuk Kaptenal meminum obatnya.

"Nih, lo belum minum obatnya?"

Kaptenal melirik obat yang di berikan Ibon. Ia mengambil obat itu, dan mengambil air dari tangan Ibon. Setelah meminumnya, Kaptenal memberikan gelas itu pada Ibon lagi.

"Gue ke dalam dulu. Lo jangan ngelamun terus! Kerasukan baru rasa, lo!"

"Hmm."

Kaptenal menoleh, memastikan Ibon sudah pergi dan masuk ke dalam. Ia membuka mulutnya, dan mengeluarkan obat yang sebenarnya tidak ia telan. Kaptenal membuang obat itu. Akhir-akhir ini, Kaptenal selalu membuang obatnya. Dan hal itu, menyebabkan ia selalu merasa sakit di sekitar area perutnya. Dan Kaptenal yang tidak pernah sama sekali menutupinya dari Ibon, kini ia sembunyikan dengan begitu rapat. Sudah saatnya untuk tidak selalu memberatkan sahabatnya, dan sudah saatnya pula Kaptenal berjuang sendirian.

Kadang terbesit dalam pikirannya, jika ia menginginkan kematian datang dengan cepat. Namun semuanya di tepis, karena orang-orang yang ada disekitarnya. Ia pernah berjanji pada Ghea untuk sembuh, ia mencoba bertahan untuk Gralexa, dan ia mencoba untuk tidak menghancurkan harapan yang dibangun oleh Ibon.

Kaptenal teringat akan percakapannya dengan Ibon. Saat itu, mereka berdua selesai membaca buku tentang penerbangan. Ibon langsung membicarakan tentang harapan nya.

"Nal, lo kan mau jadi pilot..."

Kaptenal mengangguk. "Iya, emang kenapa?"

"Biasanya kalau ada pilot, suka ada co-pilot tuh. Nah berhubung Ibon yang tampan nan membahana ini setia kawan, maka dari itu gue bakal jadi co-pilot. Supaya lo gak goda-godain pramugari seenak jidat lo."

"Alesan! Paling nanti, lo juga ikut godain!" balas Kaptenal. "Lagian nih ya, pramugari-pramugari tuh pesonanya bukan main! Udah cantik, ramah, bergaya, mempesona lagi! Lengkap, deh!"

Kaptenal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang