"Begitu ternyata"
Manik matanya bergerak menuju ke obyek yang tadi di bicarakan, wajahnya nampak serius mengamati si surai orange yang masih berbincang dengan senpai mereka.
"Tapi kenapa Shouki berpenampilan seperti itu?" Pertanyaan dari Tanaka adalah pertanyaan yang sama yang hendak ia tanyakan. Dia tak ingin memiliki stigma negatif pada adik kelasnya satu itu.
"Aku juga belum tahu, lebih baik kita hampiri mereka" jawab Kiyoko yang lantas meninggalkan Asahi, Tanaka serta Nishinoya yang masih terdiam di tepat pintu.
Hinata sendiri, ia masih nampak berbincang-bincang ringan dengan Sugawara serta Daichi. Ia juga berkata bahwa ia juga akan memberitahu anggota team yang lain tak terkecuali Kageyama sendiri.
Dan jika pun Kageyama hendak memutuskan pertunangan mereka ia juga tak apa.
"Ah kalian ternyata" Sugawara melambai ringan saat melihat rekannya yang lain. Mereka segera duduk melingkar agar semua dapat mendengarkan secara jelas alasan si surai orange itu bercerita.
Angin siang hari yang lumayan sejuk membuat mereka tak begitu kepanasan, ditambah ada beberapa tempat berteduh jika seandainya suhu matahari semakin meningkat.
Rapat guru mungkin akan bertahan sampai jam istirahat dan itu masih lah lama sehingga mereka bisa sedikit santai.
Hinata menelan salivanya gugup, jujur ini pertama kalinya ia mengatakan rahasianya ini, ia juga bukan tipe yang akan mengatakan rahasianya secara gamblang hanya untuk simpati orang.
Cerita demi cerita ia katakan, sesekali juga berhenti untuk menahan emosi yang timbul kala mengingat kejadian kelam yang ia terima.
Enam pasang mata yang melihatnya terbungkam dengan ceritanya, tak ada satupun yang menyela ataupun memotong cerita itu. Mereka sama-sama menyimak cerita yang keluar dari bibir mungil tersebut.
Sesekali iris mereka pun juga akan melebar karena terkejut dan tak percaya, otak mereka secara langsung menggambarkan apa yang terjadi. Bagaimana pundak mungil itu tahan dengan semua hak yang terjadi padanya. Bagaimana hati itu tetap berlapang dada walau harus diperlakukan sedemikian rupa oleh orang tua kandungnya sendiri.
Bak di sebuah pementasan drama, mereka seolah ikut bisa melihat secara langsung apa yang terjadi pada Hinata saat itu.
Saat dia mengatakan jika Ayahnya tak segan untuk mencambuknya jika ia tetap menentang dirinya ataupun bagaimana saat Ibunya menyiramnya dengan air panas jika masih mengungkit tentang kakak kembarnya.
Hal itu terbayang secara nyata di benak mereka semua. Suara cambukan serta pecahnya vas bunga karena menentang mereka berdua. Semua itu tergambar dengan jelas.
Bunyi cambuk yang bersentuhan langsung dengan kulit berkali-kali serta bau amis darah yang keluar seolah mencekik mereka kuat-kuat.
Tetes demi tetes air mata kembali turun, aura runyam mengelilingi mereka. Emosi sedih mengambil alih mereka dan mengubahnya menjadi tangisan serta isakan kecil yang perlahan terdengar.
Hinata bahkan berkali-kali mengusap matanya yang kembali terbasahi oleh liquid bening tersebut. Isakannya kadang juga ikut terdengar menyertai ucapannya tersebut.
****
Bel istirahat berbunyi, para murid mulai banyak yang berhamburan keluar menuju kantin untuk membeli makanan. Ada pula yang pergi ke gedung olahraga untuk bermain bola dan ada pula yang tetap berada di kelas seraya berbincang mengenai pelajaran.
Mereka masih terdiam, raut wajah mereka masih sedih nan kuyu karena cerita tadi.
Sejak 10 menit yang lalu pun tak ada yang mau membuka percakapan setelah Hinata selesai bercerita. Masing-masing masih diam dengan kesedihan yang menyelimuti mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Refleksi {KageHina} COMPLETE ✔
RomanceKarena kecelakaan tahun lalu hidupnya berubah. Kenyataan pahit harus ia dapatkan hanya karena kejadian tersebut. Kejadian yang mungkin saja sangat membekas di ingatan setiap anggota keluarganya. Mereka dua tubuh namun terpaksa menjadi satu. Dia h...