"Kamu itu jangan begini-begini amat kelakuannya. Anak gadis harusnya anggun, kalem, enggak banyak tingkah. Coba kamu ngaca, tengok, penampilanmu ini kacau banget, Geya. Kamu kalau enggak bisa urus diri sendiri coba minta tolong sama mbakmu. Contoh perilaku mbakmu. Anak perawan kok kayak preman."
Tadi sore, kalimat berderet-deret penuh penghakiman tersebut menyapa telinga Geya. Meluncur mulus dari mulut sang ibu dan tanpa ampun menghajar perasaan gadis itu. Sosok yang mestinya jadi pondasi pertama dalam menopang kepercayaan diri Geya, justru malah menjelma peluru yang tanpa ampun mengoyaknya.
"Capek," gumam Geya pada pantulan wajahnya di cermin. Seringai tipis terulas, merasa miris atas kenyataan pahit tentang ibunya yang tidak dapat menerima secara utuh selera Geya dalam berpenampilan. Memangnya apa yang salah dengan menjadi tidak feminin? Apakah seburuk itu berpakaian sederhana macam anak lelaki? Bukankah tiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri?
Geya menghela napas panjang seraya menyugar rambutnya yang pendek. Bersamaan dengan kembali jatuhnya helai halus itu menutupi kening, ia membenarkan kaos hitam kebesarannya sebelum berbalik dan berjalan gontai menuju ranjang.
Akhir-akhir ini Ibu sering mencibir gaya Geya yang tomboi, kemudian merembet hingga ke tingkahnya yang barbar dan tidak feminin. Ceramah panjang beliau kerap diawali dengan menyebutkan poin-poin salah pada diri si bungsu, berlanjut dengan wejangan yang diselipi kata-kata sarkas. Di akhir, beliau selalu menyinggung si sulung sebagai solusi dari kekurangan yang Geya miliki.
"Lihat Mbakmu!"
Selalu begitu, seolah-olah Zanitha adalah patokan dari standar anak baik yang wajib Geya ikuti. Sosok sulung kebanggaan Ibu yang selalu dielu-elukan dan jadi contoh konkret kala Ibu membuat perbandingan. Di mata beliau, Zanitha itu sempurna. Dari segi manapun, nyaris tak bercela. Sejatinya beliau tidak salah-salah amat meminta Geya bersikap lemah lembut karena itu sesuatu yang bagus. Namun, ada kalanya manusia tidak nyaman dengan kelumrahan yang ada, dan Geya adalah salah satunya. Dia bukan sengaja ingin menyimpang, tetapi dari pilihan yang berbeda inilah dirinya mendapatkan banyak kenyamanan.
Geya baru saja merebahkan diri ketika pintu kamarnya diketuk seseorang. Dia tidak perlu menebak karena suara Zanitha terdengar menyusul kemudian, "Tidur belum, Geya?"
"Belum, Mbak!"
Daun pintu terbuka, sosok Zanitha pun kontan terbingkai dalam pandangan Geya. Perempuan itu melenggang masuk dengan langkahnya yang anggun. Tanpa basa-basi mendudukkan diri di tepian kasur, lantas mengarahkan tatap teduh pada wajah Geya yang sedang berbaring.
"Kenapa, Mbak?" Geya kembali menegakkan punggung demi sebuah sopan santun. Meski Zanitha jadi anak kesayangan Ibu, tetapi dia tidak pernah membenci kakak kandungnya itu. Sebab Zanitha tidak seperti Ibu yang menuntut banyak hal dari Geya. Zanitha itu sebaliknya, pondasi kedua setelah Ayah yang menopang kepercayaan diri Geya. Apa pun keputusannya, selagi tidak berdampak buruk, maka Zanitha selalu memberikan dukungan.
Kepada sang kakak, Geya menaruh rasa hormatnya tinggi-tinggi. Dia segan, tetapi tidak sungkan. Bagi gadis itu, Zanitha adalah anggota keluarga yang paling memahaminya. Yang dalam menyikapi permasalahan Geya, tidak akan langsung menyimpulkan sebelum sang adik memberikan penjelasan.
Gadis itu boleh saja mengakui Zanitha lebih unggul dalam segala hal. Namun, khusus untuk urusan mencintai Maga, Geya bertaruh dirinya adalah juara. Kendati dia mengagumi sosok sang kakak hingga sedemikian rupa, perihal perasaannya pada Maga, dia merasa dirinya lebih bisa melakukannya.
"Mbak mau ngasih titipan," ucap Zanitha, tangannya bergerak mengulurkan sebuah kalung rantai kecil nan tipis berbahan perak.
"Dari siapa?" Saat benda itu telah diraih, Geya segera mengamati detail liontin cantik berbentuk hati yang di tengahnya terdapat ukiran huruf G.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Teen Fiction"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!