Geya menyantap nasi goreng sebagai sarapannya pagi ini. Namun, fokus gadis itu tertuju pada ponsel di sebelah piring. Telunjuknya aktif menggulir layar Instagram, mencari-cari referensi judul buku menarik untuk dibeli di Gramedia akhir pekan nanti.
“Simpan dulu ponselnya, Nak.” Ibu menaruh sepiring ikan goreng di depan Geya, lalu duduk di samping anak bungsunya. Ada hela napas panjang terdengar dari beliau, agaknya kesal pada sang putri yang tidak menghiraukan tegurannya.
“Geya.” Sekali lagi, Ibu berkata.
Gadis itu menyuap sesendok nasi, belum menoleh pada Ibu sebab kini asik membaca review cerita yang sedang naik daun dan kabarnya akan diangkat menjadi film layar lebar. Sampai kemudian tangan Ibu mengusap lengannya, baru Geya menyahut pelan, “Tanggung, Bu.”
Ibu menggeleng, tetapi tak lagi ambil pusing dan memilih menyantap makanannya. Walau begitu, gumaman dari kekesalan beliau masih bisa Geya dengar samar-samar. “Ini anak kenapa beda sekali sama Mbaknya. Heran.”
Gerakkan jari Geya kontan melambat. Gerutuan Ibu berhasil menarik satu senyum tipis sarat miris muncul di bibir gadis itu. Lagi dan lagi, dirinya dibanding-bandingkan. Ibu mungkin menganggap ucapannya sepele, tidak tahu saja bahwa dada anak bungsunya mencelos hebat. Namun, seperti selalu, Geya akan berpura-pura tidak mendengar. Ini sejatinya tidak sehat, cara Geya menulikan telinga berpotensi menumpuk rasa sakit. Di akhir, apabila toleransinya kewalahan mengatasi serbuan nyeri, kewalahan memaklumi, beban-beban itu pasti meledak dan melukai lebih dalam.
Mengalah pada ego dan berusaha menekan emosi, Geya pun mematikan ponsel. Memilih patuh untuk sarapan dengan khidmat. Sebenarnya dia tidak tersinggung akan teguran sang ibu. Yang membuat perih adalah karena beliau membawanya ke dalam perbandingan semu. Sudah jelas semua orang pun tahu Geya dan Zanitha merupakan dua pribadi berbeda. Selera mereka tidak sama, lantas kenapa Ibu seolah menutup mata dan tidak bisa memahaminya?
“Pagi semuanya,” sapa Zanitha.
Geya mengangguk ke arah sang kakak yang baru saja mendudukkan diri di seberang meja, di mana Ibu segera beranjak mendekat untuk memberi gadis kesayangannya pelukan ringan dan elusan sayang di puncak kepala.
“Kamu itu jangan terlalu memforsir diri kalau ngelakuin sesuatu, nanti sakit, Tha.” Ibu menatap Zanitha penuh kasih, lantas dibelainya lagi bahu si sulung sambil terus mengingatkan supaya menjaga kesehatan. Afeksi tersebut seolah hanya Zanitha saja yang berhak menerimanya. Ibu jarang melakukan hal serupa pada Geya. Si bungsu kadang membatin nelangsa, menanyakan pada diri sendiri sekiranya kesalahan fatal apa yang pernah ia perbuat sehingga Ibu memperlakukannya berbeda.
Geya yang semula memperhatikan pun refleks menurunkan pandangan. Berpaling dari adegan penuh keharmonisan yang mencipta sedikit nyeri. Meski Geya mati-matian membisiki benaknya untuk tidak iri, tetap saja hatinya berdenyut ngilu.
“Undangan udah jadi semua belum, Tha?” Ibu telah kembali duduk, tetapi kali ini posisinya di samping Zanitha.
"Undangan apa, Mbak?" Geya refleks bertanya, kaget sendiri mendengarnya.
Zanitha tersenyum semringah. Tangannya bergerak merogoh ke dalam tas selempang yang disampirkan pada sandaran kursi. Tidak lama selembar undangan berwarna ungu lembut tersuguh di hadapan Geya. Di sana, terukir dua nama familier. Dua nama yang sanggup meremukkan hati Geya.
“Tunangan?” Geya menggumam dengan mata terpaku pada undangan yang baru saja Zanitha sodorkan.
“Maaf, ya, enggak ngasih tau kamu sebelumnya.” Zanitha berujar dengan rona merah samar-samar menggores pipi putihnya. “Soalnya Mas Aga bilang nanti aja ngasih taunya biar kejutan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Teen Fiction"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!