Yang ditantang adalah Maga, tetapi jantung Geya ikut kena kejut kala mendengarnya. Sejenak, suasana seolah membeku. Semua orang di sana kecuali Ogy kompak terenyak.
“Gimana, Bang?” Alis Ogy bergerak naik-turun menyebalkan. Ekspresinya gamblang menunjukkan betapa puas pemuda itu dengan idenya yang nista.
Maga merespons terlampau tenang, tak sedikit pun terpancing dan dapat menerimanya meski ada satu syarat dia pinta. "Tapi tutup mata kalian."
"Lho, kok?" protes Ogy.
“Aku setuju.”
Ogy cemberut mengetahui Zanitha tak lagi satu suara dengannya. Ogy tidak repot menengok pada Geya untuk meminta pendapat gadis itu, sebab dari ekor mata saja Ogy bisa menangkap gelagat Geya yang tampak sama setujunya dengan sang kakak.
“Ya udah.”
Ogy pasrah. Namun, ada seringai samar tersemat di bibir tipisnya yang luput dari tatapan semua orang. Otak licik anak itu kini menggemakan saran; menyuruh Ogy mengintip ketika Maga menunaikan tantangan.
Ketiganya kompak memejam. Ogy santai karena tahu tidak akan dipilih. Zanitha pun rileks sebab tahu dirinya yang akan terpilih. Satu-satunya yang dilanda kecemasan adalah Geya. Gadis itu mengharapkan Maga datang padanya, tetapi sadar betul bahwa kemungkinan itu mustahil terjadi.
Cup!
Satu kecupan mendarat di pipi seseorang, bersamaan dengan itu suara pekikan heboh dari Ogy terdengar, “Aw! Pipi gue basah! Bang Maga tolong jangan dalam-dalam ngecupnya!”
Plak!
“Anjir!” Ogy segera membuka mata setelah kepalanya kena tabok seseorang. Saat melihat Geya tengah melotot sadis ke arahnya, dia langsung paham siapa pelaku yang barusan menganiaya. “Kok, nabok, sih?”
“Biar waras!” sentak Geya dengan satu sudut bibir berkedut kesal. Usai mendamprat Ogy, perempuan itu pun beralih menatap Zanitha. “E-em, aku mau ambil air minum dulu, ya?”
Geya berlalu bahkan sebelum ada yang sempat membalas ucapannya. Tampak tergesa-gesa mengambil langkah menuju dapur. Membuat Ogy yang memperhatikan menggeleng sambil tersenyum penuh arti. Jelas saja dia menyeringai, sebab Ogy tahu Geya hengkang demi menghindari sesuatu. Jika benar karena kehausan, maka botol berisi air mineral dingin di samping Zanitha bisa jadi pilihannya.
Di tengah hening selepas kepergian Geya yang mencurigakan, suara Zanitha memecah senyap yang ada.
“Mas Aga cari angin, yuk!” Zanitha beringsut berdiri, disusul Maga kemudian. Perempuan itu sempat meminta waktu sebentar pada Ogy untuk keluar, dan tentu dipersilakan oleh pemuda itu dengan senang hati.
Selepas punggung keduanya hilang dari pandangan, Ogy segera berdiri. Dengan senyum miring yang samar-samar tersungging, tubuh jangkungnya beranjak menyusul Geya.
Sementara di dapur, gadis itu tengah termenung sembari menghadap kulkas. Tangannya berada di pegangan pintu lemari es tersebut, tidak menariknya, hanya bergerak meremas-remas saja. Mata Geya menyorot hampa seolah-olah jiwanya pergi melanglang buana dan hanya menyisakan raga kosong melompong.
“Ei!”
“Aaaa!”
“Aw! Pipi gue!”
Geya menatap kaget telapak tangannya yang baru saja menyapa Ogy lewat tamparan. “Kenapa ngagetin?!”
Sambil mengusap-usap pipi dengan tampang nelangsa, si pemuda membalas sewot, “Ya, biar surprise!”
“Sinting!”
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Teen Fiction"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!