Perasaan Geya berantakan. Hatinya teramat sakit menerima kemarahan Ibu, tamparan beliau beserta isak tangisnya. Seolah belum cukup, di sana ada Maga menggelarkan karpet merah dengan serpihan kaca berserakan di atasnya. Lelaki itu amat pasrah membiarkan Geya tenggelam dalam kubangan kekesalan Ibu, tanpa sedikit pun berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Hanya duduk membisu menyaksikan pertikaian. Luar biasa.
Di titik ini, Geya pikir Maga tidak layak untuk dicintai dengan segenap hati. Sosok itu mendadak kehilangan dua sayap berlabel keren yang selalu mengepak penuh pesona di balik punggungnya. Lepas, entah ke mana.
Terlebih, kala Geya mendapati Maga memeluk Zanitha demi merengkuh tubuh dan kesedihan perempuan itu, sementara pada Geya yang Maga seret ke dalam masalah justru tidak ada upaya apa pun untuk menenangkan.
Geya berhasil dibuat kecewa.
“Geya?" Ogy mengecek kaca spion untuk melihat refleksi wajah Geya. Namun, dia hanya menemukan puncak kepala gadis itu yang agak menyembul dari balik punggungnya.
Di jok belakang, Geya tengah memejam seraya menempelkan pipinya di punggung Ogy. Terdiam sambil menikmati kekecewaan sekaligus berusaha mengenyahkan bayang-bayang wajah Maga yang tampak teramat frustrasi kala mencegahnya pergi. "Kenapa, Gy?"
Ogy membawa kendaraan matik kesayangannya melaju normal di jalanan yang ramai. Melawan arah angin sehingga embusannya lancang mengobrak-abrik rambut yang tidak terbungkus helm. Pun dengan rambut seseorang yang kini diboncengnya.
Mendengar suara lirih Geya yang sarat letih, Ogy rasa masalah gadis itu lumayan serius. Bahkan ada jejak air mata yang sempat Ogy temukan di pipi Geya kala dia tadi menjemputnya.
Jadi, ketika Zanitha menghubunginya, Ogy kebetulan tengah nongkrong di warung dekat sekolah bersama teman-temannya. Di telepon, Zanitha menjelaskan garis besar kekacauan yang sang adik alami serta memberi Ogy wejangan untuk menjaga Geya selama gadis itu bersamanya.
Tadi, saat Ogy sampai di rumah Geya, ada beberapa orang menyambutnya di halaman rumah. Sosok Maga adalah yang paling menarik perhatian Ogy. Dia cukup perasa untuk menyadari betapa keruh air muka Maga dan gelagat enggan lelaki itu kala bersitatap dengan dirinya. Sayang sekali Ogy tidak bisa menikmati kekesalan Maga lebih lama sebab harus pamit pada orang tua Geya, meminta izin sekaligus memperkenalkan diri secara perdana sebagai pacar dari puteri bungsu mereka. Tentu tanpa Geya ketahui.
Beruntungnya, meski datang di waktu yang kurang mengenakkan, orang tua Geya dapat menerima kehadiran pemuda itu dengan baik. Terlebih Pak Faisal. Ayah gadis itu bahkan meminta Ogy untuk menjaga si bungsu dan mengatakan bahwa Ogy kini memegang kepercayaan beliau.
"Jadi kita mau ke mana, nih?"
"Terserah."
Ogy menahan cibiran di ujung lidahnya, mencoba menghargai Geya yang suasana hatinya sedang kacau balau. "Yeuu ... jangan terserah, dong! Nanti gue bawa ke kuburan yang sepi biar sekalian bisa uji nyali, nih."
”Ayo-ayo aja."
Sabar ... sabar!
"Lo ada tempat yang pengin di datengin gak? Atau mau muter-muter aja sampe perut kembung?" Ogy tertawa kecil untuk pertanyaan terakhir yang terdengar amat konyol.
"Gak ada," balas Geya singkat, jelas, padat dan membuat Ogy benar-benar ingin mencibir kali ini. Beruntungnya embusan angin meredam dumelan cowok itu sehingga Geya tidak perlu repot-repot menabok kepalanya.
Ogy pun berinisiatif membelokkan motornya menuruni jalan raya, menuju taman terdekat yang dia ketahui. Tawarannya tentang berputar-putar saja tentu hanyalah omong kosong. Pemuda itu mana sudi menghamburkan bensinnya yang berharga, mana dapat bonus perut kembung pula. Kurang kerjaan sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Teen Fiction"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!