7. Toilet dan Kecoa

1.1K 188 1
                                    

Di antara banyak sanksi yang bisa dipilih sebagai penebus keterlambatan, Geya dengan tololnya menyerahkan diri ke pintu penyiksaan paling kejam.

Dia kira membersihkan toilet kelas dua belas akan lebih ringan ketimbang lari sepuluh putaran mengelilingi lapangan, ternyata keliru. Justru terjebak di ruangan beraroma pesing tersebut jauh lebih menyiksa. Kendati Geya sudah menjepit hidungnya, bebauan itu masih saja punya cara untuk meloloskan diri dan tanpa ampun menghajar penciumannya.

"Sial bau banget!" Dia berkata sia-sia. Karena sebanyak apa pun protesan diucap, pekerjaannya tidak lantas selesai dengan cepat. Dari delapan bilik yang ada, gadis itu baru menyelesaikan tiga saja. Masih sisa banyak, tetapi raga dan mentalnya sudah di ambang pintu menyerah.

Geya menyikat pinggiran kloset duduk dengan hati nelangsa, tidak mengira pagi harinya akan diawali dengan menyapa seonggok benda kuning yang mengambang kesepian di dalam pembuangan sana. Benak Geya ribut mengutuk manusia jorok yang membuang kotoran tetapi tidak menyiramnya. Dibiarkan terombang-ambing dalam gelapnya kloset, dan sialnya ... kenapa harus Geya yang jadi mahluk bernasib unlucky karena menemukannya?

Di tengah keheningan yang memenuhi ruangan, Geya mendengar suara pintu berderit. Gadis itu keluar bilik guna memastikan siapa yang datang, dan langsung menyesal begitu mendapati Ogy yang berada di ambangnya.

"Hai pacar~" sapa cowok itu, cerah ceria seperti biasa. Ogy kini mengenakan pakaian olahraga, tampak tampan dengan baju tersemat pas di tubuhnya yang proposional.

Mendengar sapaan mengerikan tersebut, Geya rasa-rasanya ingin melempar sikat penuh bakteri di tangannya ke arah Ogy. "Gue lebih suka lo manggil gue calon adik ipar."

"Ei~" Ogy menghampiri Geya dengan langkah yakin serta wajah berseri-seri. Kentara sekali gairah yang menyala-nyala di sepasang netra menawannya. "Jangan pasang ekspresi ogah gitu, ah. Gue ke sini mau bantuin. Sini, mana yang belum dibersihin?"

Geya mendadak berhalusinasi seolah-olah dapat melihat sayap mengepak gagah di balik punggung Ogy. Kata-kata pemuda itu barusan sungguh terdengar seperti mantra. Menebar magis yang sanggup menghipnotis Geya hingga dalam pandangannya Ogy kini menjelma bagai peri rupawan nan baik hati.

"Serius?" tanya Geya.

Ogy mengangguk mantap hingga rambutnya yang menutupi kening bergoyang naik turun. "Duarius!"

"Sekarang gue merestui lo sama mbak Zanitha," kata Geya sembari menyeka air mata gaib di sudut matanya, berlagak terharu. Meski sejatinya dia memang lumayan tersentuh dengan kebaikan manusia menyebalkan itu yang amat tidak disangka-sangka.

Ogy mengulas senyum yang kentara sekali dibuat-buat, tidak lama kedua tangannya terangkat. Pun dengan kepalanya ikut mendongak, menatap langit-langit ruangan penuh suka cita.

"Alhamdulillah," gumamnya.

"Sst!" Geya menginterupsi sesi syukuran Ogy dengan desisan keras. "Jangan mengucap asma suci di sini!"

Yang ditegur kontan meringis. "Lupa!"

Geya mengedikkan bahu tak acuh, lantas berjalan ke wastafel guna membersihkan tangan. Ogy pun mengekor, lantas menempatkan diri di sebelah pacar bohongannya sambil ikut-ikutan mencuci tangan juga.

"Tinggal berapa bilik lagi?" tanya Ogy, matanya menyorot pantulan wajah Geya dalam cermin di hadapannya.

Geya yang semula menunduk khusyuk, kini mendongak demi mempertemukan tatapan mereka. Dia mengedikkan dagu singkat dan setengah tersenyum. "Enam lagi."

"Terus kenapa lo cuci tangan?"

"Lah?" Geya menoleh demi menatap Ogy tepat di mata. "Katanya tadi lo mau bantuin gue? Jadi karena lo ada di sini, otomatis gue udahan, dong?"

[✓] The Right HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang