Geya mengangguk singkat pada beberapa orang yang menyapanya dalam sebuah papasan. Ia biasanya akan fokus ke depan dan pura-pura tak melihat orang-orang, tetapi berhubung hari ini suasana hatinya cukup baik, jadi ditebarlah senyuman, tumben-tumbenan ia sudi berbagi keramahan pada warga sekolah.
“Elo lagi?” Geya berujar dengan nada jengah yang kentara. Sebab tiba-tiba saja ada sesosok manusia berjalan di sampingnya. Mirip jelangkung, datang tidak diundang dan semoga pulangnya tidak minta diantarkan. "Hush! Hush!"
Ogy Widjan Fausta, pemuda yang sudah nyaris satu bulan merecoki hidup Geya. Motifnya meminta nomor Zanitha, tetapi meski Geya telah memberikannya, pemuda itu masih saja berkeliaran di sekitar Geya.
"Emang lo ngarepin siapa?"
“Siapa pun, asal bukan elo!”
Geya misuh-misuh dalam hati, merutuki keadaan koridor kelas dua belas yang tumben-tumbenan ramai padahal masih pagi. Jarum pendek pada jam di pergelangan tangannya bahkan belum menunjuk angka tujuh. Sementara di sisi lain, Ogy yang melihat Geya menggerutu malah terkekeh. Ia sempat mengedikkan kepala pada sekumpulan anak lelaki yang sedang nongkrong di depan kelas XII IPA 1 menyapanya. Sejurus kemudian fokusnya balik ke Geya.
“Gue ganggu banget, ya?” tanya Ogy.
Gak sadar diri!
Geya ingin mengumpat keras-keras, meneriakkan berbagai makian supaya Ogy sadar bahwa keberadaannya sungguh meresahkan. Bukan apa-apa, tetapi intensitas pertemuan mereka yang kelewat sering memicu kecurigaan jiwa-jiwa tukang ghibah. Geya dan Ogy pacaran, begitu gosip yang semingguan ini santer terdengar.
“Ganggu banget!" jawab Geya yakin.
Ogy hanya tertawa, reaksi itu kontan membuat Geya terheran-heran. Mereka ini baru kenal satu bulan, tetapi pemuda itu bertingkah seolah-olah tidak punya rasa sungkan. Lancar sekali mengajaknya bercanda bahkan meski Geya terang-terangan memasang ekspresi sangat enggan.
“Gimana kabar Kak Zanitha? Udah putus apa belum sama Bang Maga?” Ogy bertanya sambil cengengesan, ekspresi polos yang sungguh kontradiksi dengan pertanyaan jahatnya. Untuk ukuran wajah Ogy yang terkesan innocent, citra licik sangatlah tidak cocok dia sandang. Sayang sekali realita berbicara lebih jujur ketimbang apa pun. Kendati punya rupa lugu khas anak baik, Ogy ini terkenal dengan mulut yang suka nyinyir. Dia ini lelaki, tetapi cerewet sekali. Herannya orang-orang malah bilang tingkah pemuda itu menggemaskan. Siapa pun tolong beritahu Geya, di mana letak gemasnya? Jika rasa gemas tersebut menumbuhkan hasrat ingin menabok, maka Geya sangat menyetujuinya.
Putus apa belum?
Walau sedang kesal, Geya tidak dapat menahan dengkusan geli kala mendengar perkataan Ogy yang kelewat lancang. Apa-apaan dengan pertanyaan tersebut? Apakah si pemuda penghuni kelas XII IPS 1 itu mendoakan Zanitha dan Maga putus?
Jika iya, maka Geya akan ikut mengaminkannya dalam hati.
“Belum. Mungkin nanti sore,” balas Geya sama jahatnya. “Tunggu aja.”
“Lo titisan Dahlan?”
Geya menoleh saat Ogy melemparinya pertanyaan random seperti itu. Sorot matanya seolah berkata; apaan, sih?
Melihat tatapan Geya yang seolah-olah tengah mencemoohnya, Ogy lantas menyenggol lengan perempuan itu sambil berujar, “Itu, kata-kata lo mirip banget sama dialog di film Dahlan.”
Who's Dahlan?
Kening Geya mengernyit samar, berusaha memutar ingatannya demi menemukan film yang Ogy maksud. Sampai akhirnya dia ingat, tetapi langsung mendengkus geli mendapati Ogy ternyata salah sebut nama. “Lo itu kalau nonton film jangan sambil tidur, nama orang jangan seenak jidat diganti-ganti.” Baru kali ini gadis itu menemukan seseorang bisa begitu salah dalam mengingat nama tokoh dari film adaptasi novel karya Pidi Baiq yang terkenal di sepenjuru negeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Teen Fiction"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!