8. A Wise Maga

988 160 0
                                    

“Bang Maga!” Teriakan Geya menggema di teras rumah Maga dengan nada suara melengking halus, terdengar sekali dibuat sok imutnya.

Malam ini Geya berkunjung ke rumah Maga dikarenakan keluarganya pergi menghadiri undangan pernikahan. Nasib jadi manusia yang tidak punya banyak kelebihan untuk dibanggakan membuat Ibu enggan mengajaknya. Beliau lebih senang membawa Zanitha, si anak kesayangan yang berprestasi dan menawan. Dapat diandalkan serta tidak memalukan untuk dipamerkan ke teman-teman. Geya tidak iri, sumpah. Dia malah bersyukur karena tidak perlu membaur dengan para orang tua yang bahasannya tidak jauh-jauh dari mengumbar pamor anak-anak mereka. Di mana ada gengsi yang harus diangkat tinggi-tinggi, saling unjuk prestasi putra-putri demi sebuah harga diri. Perilaku pamer itu tidak buruk-buruk amat di mata Geya.

Gadis itu sepenuhnya mengerti, semua orang tua pasti merasa bahwa anak mereka adalah yang terbaik di dunia. Setelah asam manis dilalui untuk merawat dan membesarkan sang anak, sebuah kesuksesan tentu hal wajar untuk digemborkan-gemborkan.

“Bang Ma—”

Ceklek.

“Sebentar!” Maga muncul dari balik pintu sembari menyungging senyuman hangat. Dimple di pipi kiri pemuda itu ikut menampakan diri. Rupa yang kelewat menawan, ah, mata Geya dapat nutrisi. “Ini anak gadis mau ke mana kelayapan malam-malam, hm?”

Geya cengengesan.

“Mau ngapel, Bang!”

Tangan Maga bergerak luwes mengusap puncak kepala Geya sambil terkekeh parau. “Mau ngapel ke siapa? Ada dua laki-laki di rumah ini.”

Geya tersenyum penuh beban, ingin sekali menampol Maga tetapi hasrat tersebut tertahan rasa sayang. “Kalau aku ngapelin Pak Pradita, emang bundanya Abang gak bakal marah?”

Di sela tawanya yang bernada serak, tangan Maga kembali iseng mencubit gemas pipi Geya. Jika berada dalam suasana hati bagus, Maga memang bisa jadi manusia paling receh semuka bumi. "Gak akan marah, sih. Paling rumah kamu tahu-tahu kebakaran.”

Geya meringis. “Kok, ngeri amat? Kasihan Mbak Zani punya camer kalau marah mainnya bakar-bakaran.”

“Bunda Abang itu baik. Yang bakal ngebakar rumah kamu itu Abang,” kata Maga, sukses membuat Geya terheran-heran. Tanpa menunggu gadis di hadapannya menyuarakan rasa penasaran, lelaki itu segera melanjutkan, “Karena Abang cemburu. Bisa-bisanya kamu lebih milih ngapelin Pak Pradita padahal ada Abang yang lebih ganteng ke mana-mana. Katanya kamu suka aku?"

“Aish!” Geya menutup mulutnya dengan punggung tangan, tertawa kecil dengan elegan. Jika sungguhan salah tingkah, dia memang bisa bertingkah malu-malu menjijikan.

“Udah, ah!" ucap Maga, lantas meraih pergelangan tangan Geya. Ditatapnya lembut perempuan yang kini susah payah mendongak demi bisa beradu pandang dengan dirinya. “Masuk?”

Di sisi Geya, tiba-tiba saja waktu seolah melambatkan laju. Membiarkan momen menyenangkan ini bertahan sedikit lebih lama. Sampai kemudian gadis itu tersadar dan segera mengangguk. Tangan Maga yang semula memegang pergelangan tangan Geya perlahan turun mengisi celah kosong di antara jari-jari Geya. Menjalin genggam yang hangatnya merembet hingga ke hati gadis itu.

Di belakang tubuh Maga yang tinggi menjulang dan menguarkan wangi parfum mahal, Geya mati-matian meredam euforia dan mengontrol jantungnya yang berdebar gila-gilaan. Senyum yang susah payah Geya tahan-tahan pada akhirnya tetap terukir. Kala ambang pintu terlewati, si perempuan kontan mengernyit karena menemukan meja di ruang tamu dipenuhi buku-buku dan kertas.

“Abang lagi belajar?”

Maga melepas genggamannya, lalu mengedikkan dagu ke arah sofa single supaya Geya duduk di sana. Ia pun menempatkan diri di sofa panjang yang setengahnya diisi lembaran HVS.

“Lagi nugas. Sekalian noted materi penting di buku. Semingguan ini parah banget, sih, sibuknya," balas Maga.

Geya menggapai satu buku paling tebal dengan judul bahasa inggris sepanjang gerbong kereta. Diamatinya baik-baik, hingga kemudian satu helaan napas lolos dari mulutnya. Baru melihat judul saja Geya sudah merasa sakit kepala.

“Enggak pusing baca buku setebal ini?"

Maga yang kini menunduk pada buku dan telah kembali fokus membaca deretan aksara di dalamnya, merespons tanya tersebut dengan kekehan. “Resiko, Geya. Untuk punya masa depan bagus ya harus rela pusing-pusing dari sekarang.”

Geya mengangguk setuju, lalu menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Tiba-tiba saja otak gadis itu mengajak batinnya untuk merenung. Tujuh belas tahun hidup, kira-kira apa saja yang sudah perempuan itu lakukan untuk mempersiapkan masa depan?

Zonk," gumam Geya, mengingat betapa nihil persiapan yang dipunyai. Sejatinya, dia memang tidak terlalu berambisi menjadi sesuatu di masa depan. Dalam menjalani hidup, gadis itu terkadang kehilangan selera untuk menata langkah. Sekadar mengikuti arus bergerak. Pasrah-pasrah saja ke mana pun takdir menyeretnya.

Hei!” panggil Maga.

“Hm?” Meski pikiran Geya sedang berkelana, tetapi mata yang setia memandang Maga membuatnya awas kala lelaki itu memanggilnya.

“Kenapa ngelamun mulu?” tanya Maga, sadar bahwa sejak tadi Geya tidak fokus. “Kamu lagi ada masalah?"

Geya menggeleng. “Tiba-tiba kepikiran, aku ini mau jadi apa ke depannya. Lihat Bang Maga yang pinter aja bisa semenderita ini karena tugas, gimana nasibku nanti yang stupid akut?"

Maga menutup bukunya demi membahas masa depan dengan Geya. Perihal cita-cita dan hari esok yang tidak bisa diterka, lelaki itu pun tidak mau muluk-muluk menjanjikan sesuatu. Namun, sebagai seseorang yang beberapa tahun lebih berpengalaman soal kehidupan, lelaki itu mungkin bisa memberi sedikit motivasi. Nasehat-nasehat sederhana yang dia petik dari hasil mengarungi peliknya masalah di hari-hari kemarin.

“Geya,” kata Maga, lamat-lamat. Seperti biasa, matanya menyorot teduh wajah Geya. Jika lelaki itu sudah menunjukan sisi seriusnya, Geya kadang merasa rendah diri. Merasa tidak layak mencintai sosok Maga yang nyaris tanpa cela. “Sekarang Abang tanya, definisi bodoh itu sendiri apa, sih?”

Geya agak tersentak dilempari pertanyaan mendadak seperti itu. Agak ragu dia menjawab, "Bodoh itu ... enggak tahu apa-apa. Ditanya ini, gak bisa jawab. Ditanya itu, malah melongo. Kurang lebih begitu, 'kan?"

Maga mengangguk. “Anggap aja definisinya begitu. Nah, kalau bodoh itu sama dengan tidak tahu apa-apa, berarti kita bisa mengatasinya dengan belajar. Belajar mengingat banyak hal supaya pas ditanya gak planga-plongo.”

“Ah!” Geya berseru. Mata gadis itu tampak antusias kala menuntaskan ucapannya. “Guruku pernah bilang; pintar itu cuma soal mengingat sebanyak-banyaknya hal di dunia.”

“Sip!” Maga senyum bangga sembari memberi Geya satu acungan jempol. “Jadi intinya orang bodoh itu enggak ada sama sekali. Mereka yang gagal sukses adalah murni karena malas belajar. Enggan bersusah payah menemukan pengetahuan. Gampang banget menyerah. Punya mimpi menaklukan dunia, tapi tidak mau repot berjibaku dengan kesulitan hidup. Apa-apa penginnya instan tanpa tau kalau kesuksesan itu butuh banyak waktu dan pengorbanan. Dan sukses di sini bukan spesifik merujuk pada pencapaian kekayaan aja. Kamu nyoba sesuatu terus ternyata hasilnya enggak sesuai harapan, nah, itu kamu enggak gagal. Itu juga meruapakan sebuah kesuksesan; kamu sukses ngalahin rasa malas. Kamu sukses dapat pengalaman baru. Karena definisi sukses sendiri luas banget."

Bibir Geya tertarik samar membentuk senyum tipis. Netranya menyorot sarat kagum. Untuk kesekian kalinya perempuan itu terpesona pada sisi Maga yang dewasa. Sekeren ini kepribadian lelaki di depannya, akan sangat disayangkan andai Geya tidak bisa mendapatkannya, 'kan?

“Hidup itu kejam, Geya. Tidak pandang bulu dalam menghancurkan. Yang bergerak saja masih bisa dipatahkan, apalagi mereka yang memilih diam ... alamat bakal habis kena hantam,” tambah Maga. Matanya yang semula menyorot tenang permukaan meja, kini berubah sedikit menyendu.

Benar, hidup memang sekejam demikian. Geya mungkin masih anak kemarin sore yang miskin pengalaman. Namun, sejauh ini dia paham bahwa untuk merengkuh satu kebahagiaan terkadang dibutuhkan banyak sesuatu untuk dikorbankan. Hanya saja untuk beberapa hal terdapat pengecualian. Sesuatu yang walau telah diusahakan mati-matian, tetapi tetap saja tidak bisa dimiliki. Bagi Geya sendiri, mencintai Maga adalah salah satu pengecualian tersebur. Sesuatu yang dikejar dengan segenap jiwa, tetapi tidak kunjung berhasil Geya tarik ke dekapannya.

***

[✓] The Right HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang