19. Need a Proof?

1K 206 37
                                    

Aku cinta reader yang suka spam komen❣️

***

Ogy buram akan apa yang sedang terjadi. Pintu kamar mandi terbuka, lalu Geya tiba-tiba menghamburkan diri ke pelukannya. Di saat tangan Ogy baru memberi usapan pertama pada punggung gadis itu, matanya dipaksa memerangkap keberadaan Maga di dalam sana. Jantungnya seketika mencelos, menyadari Maga dan Geya sebelumnya berada di satu ruangan yang sama. Sebenarnya ada apa?

"Lo kenapa hm?" bisik Ogy, pada Geya yang terisak hebat di dalam rengkuhannya. "Diapain sama Maga?"

Geya menggeleng, mulutnya luput dari kata-kata, dan balasan itu tidak lantas membuat Ogy mengerti situasi. Pemuda itu masih jadi si tidak tahu apa-apa di tengah kekacauan ini.

Maga keluar kamar mandi. Berdiri di hadapan Ogy dan Geya dengan wajah muram. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot mengusap bersih air mata di pipinya. Jejak-jejak basah masih ada di sana kendati sudah agak mengering sebagian. Di titik ini, Maga capek berpura-pura. Ingin bersikap seadaanya, jujur akan apa yang dirasa.

Mencintai Geya.

Ogy mendorong pelan bahu Geya hingga pelukan mereka terurai. Lengannya bergerak ke depan tubuh gadis itu, lantas mengarahkan Geya supaya berdiri di belakangnya.

Demi Tuhan, Ogy merasa bersalah karena lalai menjaga Geya. Membiarkan Maga membawanya berduaan di kamar mandi dan mungkin saja lelaki itu sempat berbuat tidak senonoh. Untuk apa pun tindakan yang Maga lakukan dan melukai perempuan yang dia cintai, Ogy bersumpah tidak akan memaafkannya. Si berengsek itu boleh saja menggenggam hati Geya, tetapi air mata Geya tidak layak jatuh untuk menangisinya. Terlalu berharga untuk sosok bajingan seperti Magani Pradita.

"Lo apain pacar gue, Bang?" tanya Ogy. Intonasi dan tatapannya sama-sama tajam. Sosok Maga yang berdiri tanpa kata dan mengarahkan tatap terluka nyatanya tak mampu menggugah iba pemuda ini. Ogy kepalang emosi. "Di hari pertunangan lo, gimana bisa lo ngajak pacar orang berduaan di kamar mandi?" Ogy bertanya tidak suka.

Suara sesenggukan Geya jadi satu-satunya bunyi yang mengisi ruangan. Beruntung Ogy sudah mengunci pintu dapur sehingga tidak ada orang yang akan ikut campur. Huru-hara ini cukup terjadi di sini, tidak perlu terdengar ke luar dan membuat keributan jadi makin besar. Ada kecemasan di benak Ogy, tentang Zanitha jika sampai mengetahui ini.

"Kamu gak tahu apa-apa," balas Maga setelah membisu cukup lama. Tatapannya mengarah ke belakang bahu Ogy, pada Geya yang kini menyandarkan kening di pundak pacar pura-puranya. "Bilang sama Abang, Ge, kalau pacarmu ini cuma pelampiasan, 'kan? Kamu marah sama Abang makanya jadiin dia alat buat bikin Abang cemburu? Iya, 'kan, Ge?"

Ogy tidak sempat mengurusi hatinya yang patah, sebab remasan tangan Geya pada kain di pinggangnya jadi prioritas untuk diurus. Reaksi gadis ini, entah apa maksudnya. Namun, meskipun tebakan Maga akurat, Ogy harap Geya akan menyangkalnya. Bukan tentang harga diri di depan Maga, tetapi meskipun hanya pura-pura, Ogy ingin sekali saja Geya mengakui dirinya sebagai kekasih.

"Lo kenapa, sih, Bang? Sok tahu banget jadi orang." Ogy berusaha mencari tangan Geya di bawah sana. Selain demi menenangkan gadis itu, genggaman ini juga Ogy butuhkan untuk menguatkan diri. Ogy perlu tahu bahwa Geya bersamanya agar ia tak ragu menghancurkan bajingan di depannya ini. Meremukkan kesombongan yang bersembunyi apik di balik wajah rupawan Maga.

"From now on, i hate that bastard with all my heart. Manusia serakah itu, gue sangat-sangat membencinya, Gy."

Bisikkan tersebut sertamerta membuat Ogy jumawa. Makin yakin bahwa Maga patut dihabisi. Bergerak agak menolehkan kepala ke belakang sehingga dapat mengunci wajah Geya lewat ekor matanya, Ogy membalas ucapan gadis itu dengan anggukkan.

[✓] The Right HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang