Sial! Sial! Sial!
Geya mengumpat dalam hati kala sampai parkiran dan menemukan motornya berada di bagian paling depan. Terjebak, tidak ada celah untuk keluar. Padahal tadi pagi scoopy kesayangannya diparkir paling belakang. Siapa pun yang sudah melakukan hal tercela ini dan membuat gadis itu kesusahan, Geya persembahkan sumpah serapah sebanyak-banyaknya. Sialan!
Dia celingak-celinguk, tetapi di sana nihil manusia. Waktu pulang memang sudah lewat satu jam sehingga di area sekolah tidak menyisakan banyak siswa. Geya sendiri telat karena harus menyelesaikan tugas kelompok dulu.
"Apes banget, hmm. Mana anak-anak paskibra suka Maghrib pulangnya. Masa gue stay nungguin mereka sampe jam segitu?" Geya menggerutu sembari berjalan menyamping dan agak berjinjit macam kepiting demi bisa melewati celah sempit di antara barisan motor untuk menjangkau kendaraannya di bagian depan.
Ketika tangan gadis itu mendarat di jok Scoopy kesayangannya, helaan napas lega pun terembus. Namun, sesaat kemudian Geya mengerang sebab menyadari motornya mustahil bisa keluar tanpa memindahkan kendaraan-kendaraan di sampingnya.
"Susah, ya?"
Geya refleks mengalihkan tatap ke pintu masuk, senyumannya langsung terbit kala tahu siapa yang barusan bersuara. Ada Ogy berdiri di sana sambil menenteng helm dan kini menatap datar ke arahnya. Meskipun posisi mereka cukup renggang, dari ujung ke ujung, tetapi senyap yang menguasai parkiran membuat suara pemuda itu cukup jelas kedengaran.
"Kelihatannya gimana?" Pertanyaan Geya terkesan jutek, tetapi bibirnya yang setia mengulas senyuman jadi tanda bahwa dia senang dengan kehadiran Ogy di momen genting ini.
Pemuda itu selalu datang di waktu tepat. Pada saat-saat di mana Geya membutuhkan pertolongan dengan sangat. Tuhan pasti punya maksud untuk semua kebetulan ini, 'kan?
Mulanya Geya semringah, bahagia luar biasa sebab mengira Ogy akan membantu. Namun, dia melupakan banyak hal. Pernah melukai pemuda itu, salah satunya. Di antara mereka jelas-jelas tensi sedang memanas saat ini, dan Geya begitu tolol baru menyadari hal tersebut kala Ogy melengos tanpa kata. Pergi, menuju motornya sendiri di pojok kanan.
Menyaksikan sosok yang dikira akan jadi pahlawan malah bersikap tak acuh, bahu Geya kontan merosot lesu. Akan tetapi daripada kecewa pada pengabaian yang Ogy lakukan, Geya lebih sedih karena merasa asing dengan pemuda itu. Sekat yang Ogy bangun sejatinya dapat Geya maklumi, sebab perubahan ini bisa jadi adalah cara untuk menikam rasa cinta.
Hanya saja, Geya tidak menyangka bahwa mendapati raut wajah datar serta binar enggan dari mata Ogy bisa membuat dadanya amat sesak.
"Ogy!" Geya setengah berteriak karena Ogy sudah memakai helm dan duduk mantap di motornya. Suara deru mesin jadi pertanda bahwa pemuda itu telah siap meninggalkan area parkiran.
Yang dipanggil menengok, menatap Geya dari balik kaca helm full face-nya. Tidak ada sahutan. Hanya keterdiaman yang Ogy suguhkan atas panggilan Geya, membuat gadis ber-hoodie abu-abu itu tanpa sadar meremas erat ujung kain lengan pakaiannya. "Hati-hati," kata Geya.
Kepala yang dibungkus helm itu mengangguk singkat. Tak lama, Ogy pun benar-benar melajukan motornya keluar area parkiran. Meninggalkan Geya digulung rasa kecewanya.
So cold.
Lo pernah bilang kalau perasaan manusia itu dinamis, bisa berubah secepat letusan gelembung di air mendidih. Sekarang, apa lo lagi membuktikannya ke gue, Gy?
Sambil berusaha menekan kepedihan di hati, Geya memilih menunggu saja. Dia tidak seberani itu untuk pergi ke lapangan dan menginterupsi sesi latihan anak-anak paskibra hanya untuk kesulitannya yang sepele.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Teen Fiction"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!