1. Pagi-Pagi Patah Hati

3K 265 13
                                    

Geya percaya bahwa jatuh cinta bukan tindak kriminal. Bukan dosa yang harus dihukum dan dapat penghakiman. Karenanya, gadis itu berani menaruh rasa, diam-diam mencintai lelaki bersahaja penghuni bangunan di sebelah rumahnya. Magani Pradita, mahasiswa semester empat jurusan Teknik Sipil yang ketampanannya sering jadi bahan gosip emak-emak satu komplek. Saking sempurnanya pahatan di wajah lelaki itu, sampai Geya heran sendiri, bagaimana bisa ada manusia yang visualnya kelewat tampan begitu?

Sudah sekian tahun perhatian gadis itu tertuju pada Maga. Walau ada selisih umur yang lumayan di antara keduanya, tetapi Geya tidak ragu menjatuhkan hati. Sebab kata ayahnya, seorang perempuan lebih baik mencari pasangan yang lebih tua. Supaya bisa memimpin rumah tangga dengan bijak karena pemikirannya telah dewasa.

Rumah tangga bersama Maga ... Ya ampun, gue jauh banget halusinasinya!

Ketika Geya menyukai sesuatu, dia akan mengusahakannya sampai dapat. Termasuk hati Maga. Oleh karena itu semingguan ini Geya selalu sarapan di teras. Ingin menikmati makanan sambil menyatu dengan dinginnya udara pagi hari, begitu alibinya pada orang-orang rumah. Sungguh sebuah dusta, sebab motif sebenarnya adalah, Geya ingin jadi orang pertama yang menyambut kedatangan Maga kala lelaki itu bertandang ke rumah untuk menjemput Zanitha ngampus bersama.

Pagi ini, Geya masih setia menjalankan rutinitas tersebut; menunggu kehadiran Maga. Duduk dengan dua kaki terangkat menjejak kursi, sejajar dengan bokong, yang mana tidak terlihat feminin sedikit pun. Mata bulat perempuan itu sesekali melirik ke rumah Maga yang terletak bersebelahan dengan rumahnya. Ketika batang hidung si tetangga tak kunjung kelihatan, Geya menghela napas, lantas meraih cangkir susunya.

Saat dia mengangkat pandangan sekali lagi, Maga tiba-tiba muncul dari balik pintu rumahnya. Seperti biasa, meski dari kejauhan, sosok itu tampak bersinar. Menyilaukan. "Widih~ Bang Maga pake kemeja hitam kayak mau melayat." Geya terkekeh geli. Namun, dua detik kemudian gadis itu membekap mulut sambil pasang ekspresi dramatis karena di sana Maga mulai mengambil langkah sambil menggulung ujung kain lengan kemejanya. Buset! Ganteng banget!

Ketika Geya belum mampu menguasai kekagumannya, Maga yang baru saja melewati ambang pintu pagar rumah Geya di depan sana mendadak mengangkat pandangan. Otomatis satu jalinan tatap tercipta. Perempuan tomboi itu segera menyungging senyum lebar dan kontan dibalas Maga dengan senyum manis sarat keramahan. "Hai, Ge," sapanya.

"Oi, Bang." Geya mengedikkan dagu pada Maga yang mendudukan diri di sebelahnya. Wangi lelaki itu segera menguasai udara dan sebagian merangsek ke indra penciuman Geya. Sandalwood adalah harum parfumnya. Menawarkan kesan calm, gentle dan soft yang sangat-sangat Geya sukai.

"Mbak kamu lagi apa, Ge?" Maga bicara dengan tatapan mengarah lurus ke wajah Geya. Lelaki itu, jika berkomunikasi memang selalu memfokuskan seluruh atensi pada lawan bicara. Namun, sorot lembutnya riskan menimbulkan salah paham. Karena padahal Maga menatap biasa, tetapi binar yang berkilauan di obsidiannya seperti dia sedang menatap seseorang yang dicinta.

"Lagi sarapan." Geya mengangguk singkat saat Maga manggut-manggut. "Abang semalam abis begadang, ya? Kantung matanya tebal banget lho itu kayak dompet para tikus berdasi."

Maga tertawa, Geya dan guyonan sarkasnya tidak pernah gagal dalam memberi penghiburan. "Iya, tugas lagi bejibun. Abang cuma tidur dua jam tadi malam. Sibuk banget pokoknya."

Geya berekspresi sedih, turut prihatin atas penderitaan yang dirasakan lelaki di sampingnya ini. "Tapi tahu gak, sih, Bang? Tugas sama kegantengan abang tuh sebenernya punya kemiripan, lho!"

Maga yang baru saja mencomot pisang goreng lantas menaikkan sebelah alis. Dia memilih menyuapkan makanan tersebut terlebih dahulu, mengunyahnya pelan-pelan dan kemudian bertanya, "Apa, Ge?"

[✓] The Right HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang