Firasat Geya akurat. Ogy memang berkunjung untuk merusuh semata. Meski baru bertemu Zanitha dan Maga, tetapi pemuda itu bertingkah seolah telah akrab dengan keduanya. Jujur saja Geya sedikit kagum karena Ogy bisa begitu mudah menempatkan diri. Berbaur bersama yang lebih dewasa tanpa terlihat canggung, tetapi tetap beretika. Jika melihat kilas balik ke beberapa minggu lalu, Ogy sejatinya tak semenyebalkan itu, Kesan menyebalkan yang berhasil dia torehkan di pandangan Geya murni karena Geya yang tidak menyukainya.
Geya dan kepribadiannya yang introvert memang sulit diluluhkan. Ia tertutup dan sangat enggan memulai hubungan pertemanan dengan orang-orang baru. Baginya, berinteraksi dan menghabiskan waktu di keramaian sangatlah melelahkan. Mungkin itulah alasan mengapa saat ini jumlah kawannya bisa dihitung pakai jari. Namun, di balik sisi dingin yang ia miliki, Geya adalah sosok teman yang mengayomi dan setia.
“Gue lagi?!" Ogy meremat rambut dengan gerakan paling dramatis semuka bumi ketika ujung botol lagi-lagi mengarah padanya. Malam ini, nasib pemuda itu tampaknya sedang tidak mujur sebab botol di tengah mereka terus memilihnya.
“Truth!” seru Geya.
“Kenapa lo yang milih, Mumun?” Ogy misuh-misuh, lalu iseng melempar keripik yang telah ia gigit dan mendarat mulus di pipi Geya.
"Jorok!" Gadis itu melotot sambil mengusap kasar bekas di mana keripik berbalut air liur penuh bakteri dari Ogy sempat menempel. "Jijik, Ogy!"
Dibalas Ogy dengan juluran lidah dan kerlingan jahil. Tampangnya yang tengil tersebut sangat halal untuk ditabok. Geya sejujurnya ingin membenturkan kepala cecunguk itu ke dinding, tetapi amat disayangkan masih ada orang lain di ruangan tersebut. Akhirnya hasrat menganiaya terpaksa Geya tahan-tahan, tunggu besok di sekolah baru direalisasikan.
“Dari tadi milih dare mulu, pasti lo punya banyak rahasia, nih!" Geya sudah merancang pertanyaan menjebak untuk Ogy, tetapi dia tidak kunjung memilih truth. Kalau sudah begini, bagaimana pun caranya, gadis itu harus menciptakan peluang sendiri agar Ogy mau memakan umpannya.
“Dare lebih seru, sih.” Zanitha angkat suara, terdengar memihak Ogy.
Alhasil Geya merotasi bola mata tidak suka. Apalagi saat cowok itu memajukan bibir bawah mengejeknya. Geya bersumpah ingin memukul Ogy dengan botol di hadapan mereka.
“Kejujuran memang mahal, makanya gak banyak yang berani ambil. Iya, 'kan, Ogy?” Maga yang sejak tadi hanya menyimak tiba-tiba berkomentar.
“Nah, benar itu, Bang!” Ogy mengangguk semangat sambil mengangkat dua jempolnya.
Cowok itu boleh semringah sebab mendapat dukungan penuh. Namun, di mata Geya, ucapan Maga seolah menyirat sesuatu lain. Ketimbang sebuah pernyataan yang membenarkan keengganan Ogy, kata-kata kekasih kakaknya malah terkesan menyindir secara halus.
“Mahal, jadi hanya orang-orang yang mentalnya kaya aja yang berani mengambilnya,” tambah Maga.
Tuh kan!
Geya berseru dalam hati, puas karena intuisinya tepat sasaran. Akan tetapi kesenangan gadis itu hanya berlangsung sekejapan karena keburu menyadari atmosfer di ruangan merosot tajam selepas Maga berbicara. Dia melirik Zanitha dan menemukan kakaknya mengerutkan kening keheranan. Saat beralih menatap Ogy, Geya mendapati senyum tipis tersungging di sana, tetapi mata cowok itu menyorot Maga tidak bersahaja.
“Buruan pilih!” Suara Geya sertamerta menghentikan adu tatap yang sedang Maga dan Ogy lakukan. Ini mungkin perasaan Geya semata, atau bukan? Tentang mata dua lelaki itu yang seakan-akan memancarkan laser di mana ujung sinarnya saling tubruk di udara; berlomba saling mengalahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Novela Juvenil"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!