Lemah!
Geya ternyata tidak bisa jadi sekuat yang diharapkan. Berlagak tangguh? Omong kosong! Jangankan untuk tegar melihat Maga menyematkan cincin ke jari manis Zanitha, bahkan baru beberapa saat mengunci keberadaan Maga dalam balutan tuksedo hitam di kejauhan saja mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Terluka di detik itu juga. Si tampan yang sekian tahun didamba malam ini benar-benar akan mengikrarkan janji serius untuk mengajak pujaan hatinya ke jenjang pernikahan. Meninggalkan Geya, sekaligus menghancurkannya.
Berdiri di barisan paling belakang kendati Ibu sempat menariknya ke depan, Geya memandang nanar sejoli yang hendak saling memakaikan cincin ke jari satu sama lain. Di samping gadis itu, Ogy setia menemani. Tanpa kata, meskipun sesekali usapan tangannya singgah di lengan Geya. Dia pikir keangkuhan pacar bohongannya akan konsisten hingga akhir, ternyata baru masuk arena tempur saja sisi lemahnya langsung unjuk eksistensi.
Air mata mungkin belum menggenang, tetapi binar di manik mata gadis itu redup. Geya terlalu gamblang menunjukkan kesedihan di wajahnya.
Di depan sana, Maga jadi yang pertama meraih tangan Zanitha. Seraya menatap lembut perempuan yang sukses menaklukan hatinya, dia menyematkan benda kecil yang akan mengikat Zanitha hingga ke pernikahan. Senyum lelaki itu mengembang lega kala jari manis Zanitha berhasil disemati cincin.
Ogy menoleh pada Geya, menatap lekat-lekat bagian samping wajah gadis itu yang berekspresi datar. Di bawah, Ogy mulai menautkan jemarinya ke jemari Geya, mencipta genggaman yang semoga bisa menguatkan gadis itu. Namun, helaan napas Ogy terdengar samar di beberapa detik setelahnya karena tidak ada respons sama sekali. Perempuan di sampingnya bersikap pasif, tidak balas menggenggam ataupun menolak. Geya pasrah dengan apa yang Ogy lakukan.
Melihat Geya menunduk, Ogy lantas mendekatkan wajah ke dekat telinga gadis itu. Di antara riuh rendah suara para tamu undangan, sebuah kalimat penenang coba Ogy bisikkan, "Geya, lo hanya perlu menyadari bahwa takdir tidak pernah salah menggelarkan kisah. Ini skenario Tuhan, sudah ditulis dengan sempurna. Gak ada cacatnya."
Masih dengan pandangan mengarah ke bawah, suara lirih Geya singgah di telinga Ogy. "Terus sekarang gue harus gimana, Gy? Tolong bikin gue sadar kalau tentang Maga yang pada akhirnya ninggalin gue juga merupakan bagian dari skenario sempurna yang dibuat Tuhan."
Ogy mengeratkan genggamannya begitu mendengar getaran pada suara Geya di akhir kalimat gadis itu. Gawat, toleransi Geya terhadap rasa sakit nyaris menemui ujung. Sebentuk ketabahan yang dimilikinya sudah retak di sana-sini. Menyerah, Geya selangkah lagi untuk menjabat kata itu.
"Sekarang lo kehilangan, nih. Itu tandanya kalian tidak digariskan dalam satu cerita. Maga mungkin ada di beberapa halaman dalam buku kehidupan yang lo punya, tapi bukan untuk mendampingi. Dia sekadar figuran. Berperan untuk memberi lo pelajaran, bahwa untuk tau siapa seseorang yang tepat, lo harus lebih dulu bertemu dengan dia yang keliru."
Runtuh.
Geya menyerah menahan air di matanya supaya tetap menggenang. Sambil menggigit bibir bawah, gadis itu membiarkan bulir-bulir air berjatuhan membasahi lantai. Beruntung posisinya berada di belakang semua orang sehingga hanya Ogy saja yang dapat menyaksikan pecahnya tangis Geya di tengah euforia yang mengisi ruangan. Menyaksikan kekalahan Geya. Remuknya hati Geya.
"Gue serakah banget pernah bermimpi bisa hidup dan menua bareng dia, Gy. Gue pernah gak tahu diri mengkhayalkan bisa menggenggam tangan keriputnya di masa-masa tua kami." Satu isakan menjeda ucapan Geya, lolosnya sepelan bisikkan. "Dalam mimpi gue, hal itu adalah anugerah terindah yang seolah mewujud nyata. Tapi di kenyataan yang gue punya, mimpi itu justru jadi hujan badai yang gak kenal ampun menghancurkan semua angan-angan tentang dia. Sakit banget, Gy ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Teen Fiction"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!